Epidemiolog Sebut Vaksin Nusantara Kemahalan: Negara Maju Nggak Ada yang Riset Seperti Itu!

Sabtu, 17 April 2021 | 06:13
Tribun Bali

Ilustrasi vaksin.

Gridhot.ID - Vaksin Nusantara hingga detik ini terus menimbulkan polemik.

Dikutip Gridhot dari Kompas.com, vaksin Nusantara yang dikembangkan oleh dr Terawan ini disebut memunculkan reaksi tidak terduga kepada para relawannya.

Dicky Budiman, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia mengungkapkan, vaksin Nusantara tidak efektif dan efisien sebagai strategi pengendalian pandemi Covid-19.

Dikutip Gridhot dari Warta Kota, sampai saat ini tidak ada satu negara di dunia yang memiliki atau mengembangkan riset vaksin Covid-19 berbasis sel dendritik.

"Untuk pemanfaatan strategi pandemik enggak efektif dan efisien, sebab negara maju enggak ada yang riset seperti itu," ucapnya saat dikonfirmasi, Kamis (15/4/2021).

Dalam pelaksanaan riset misalnya, memerlukan SDM yang tidak sederhana, baik dari segi jumlah dan kompetensi.

"Dari situ saja bagaimana mau diterapkan pada level public health, enggak mungkin, enggak fleksibel."

"Termasuk harus di rumah sakit atau setidaknya satu setting klinik yang canggih itu enggak sederhana," tutur Dicky.

Kemudian, lanjutnya, memerlukan biaya yang mahal, di mana 1 orang bisa menggunakan dana mencapai Rp 200 jutaan.

Baca Juga: Pilih Menjanda Ketimbang Jadi Istri Tua, Nia Daniaty Bak Bernasib Mujur Usai Cerai dari Farhat Abbas, Sang Penyanyi Dijodohkan dengan Pengacara Tajir Ini

"Bagaimana pemerintah bisa membiayai?"

"Ini situasi pandemi, artinya kan ada hanya segelintir orang, dan efektivitas itu masih tanda tanya besar, apalagi untuk strategi pandemi. Tidak tepat, sangat tidak tepat," paparnya.

Dicky mengingatkan, suatu riset ilmiah harus berbasis data saintifik dan melalui berbagai tahapan seperti uji fase I, II, dan lain sebagainya.

"Jadi saya tidak melihat siapa (di balik vaksin Nusantara). Tidak memenuhi kaidah, tidak bisa didukung. Harus berpedoman pada pola mekanisme ilmiah," ucapnya

Ia pun mendukung penuh ketegasan BPOM yang tidak memberikan lampu hijau pada uji klinik vaksin Nusantara.

"Jadi apa yang dilakukan rekomendasi Badan POM sudah sangat benar."

"Dan kalau ada orang atau organisasi di republik ini yang mengabaikan satu rekomendasi tegas seperti ini, harus ditindak," tegas Dicky.

Sebelumnya, proses pertama penggunaan vaksin Nusantara adalah dengan mengambil darah dari tubuh seorang subyek atau pasien.

Selanjutnya darah itu akan dibawa ke laboratorium untuk dipisahkan antara sel darah putih dan sel dendritik (sel pertahanan, bagian dari sel darah putih).

Baca Juga: Beradu Peran Sangat Epic dengan Amanda Manopo di Sinetron Ikatan Cinta , Putra Surya Saputra Sampai Miliki Panggilan Khusus untuk Pemeran Andin Ini: Paling Pintar Itu Anak

Sel dendritik ini akan dipertemukan dengan rekombinan antigen di laboratorium, sehingga memiliki kemampuan untuk mengenali virus penyebab Covid-19 SARS-CoV-2.

Kemudian setelah sel berhasil dikenalkan dengan Covid-19, maka sel dendritik akan kembali diambil untuk disuntikkan ke dalam tubuh subyek atau pasien (yang sama) dalam bentuk vaksin.

Dengan ini, pasien diharapkan memiliki kekebalan atau antibodi yang baik dalam melawan Covid-19.

Dari proses pengambilan darah, laboratorium, hingga akhirnya menjadi vaksin yang siap disuntikkan, diperlukan waktu satu minggu.

Sebelumnya, vaksin Nusantara yang digagas Terawan belum bisa lanjut ke tahap uji klinis fase II, oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Dokumen hasil pemeriksaan tim BPOM menunjukkan berbagai kejanggalan penelitian vaksin.

Misalnya, tidak ada validasi dan standardisasi terhadap metode pengujian.

Hasil penelitian pun berbeda-beda, dengan alat ukur yang tak sama.

Selain itu, produk vaksin tidak dibuat dalam kondisi steril.

Baca Juga: Dulu Viral Pertanyakan Program Vaksinasi Bill Gates, Siti Fadilah Kini Justru Jadi Relawan Vaksin Nusantara yang Sedang Berpolemik: Saya Menghargai Pendapat Dr Terawan yang Sudah Kenal...

Catatan lain adalah antigen yang digunakan dalam penelitian tidak terjamin steril dan hanya boleh digunakan untuk riset laboratorium, bukan untuk manusia.

Tertulis dalam dokumen tersebut, BPOM menyatakan hasil penelitian tidak dapat diterima validitasnya.

Dalam bagian lain dokumen disebutkan, uji klinis terhadap subjek warga negara Indonesia dilakukan oleh peneliti asing yang tidak dapat menunjukkan izin penelitian.

Bukan hanya peneliti, semua komponen utama pembuatan vaksin Nusantara pun diimpor dari Amerika Serikat.

"Bahwa ada komponen yang betul-betul komponen impor dan itu tidak murah."

"Plus ada satu lagi, pada saat pendalaman didapatkan antigen yang digunakan, tidak dalam kualitas mutu untuk masuk dalam tubuh manusia," beber Kepala BPOM Penny Lukito, dalam rapat dengar dengan Komisi IX DPR yang disiarkan secara daring, Kamis (8/4/2021).

(*)

Tag

Editor : Angriawan Cahyo Pawenang

Sumber Kompas.com, Warta Kota