GridHot.ID - Afghanistan jatuh ke tangan Taliban.
Tak butuh waktu lama, berita ini pun langsung viral di media sosial seluruh dunia.
Melansir Intisari, setelah Afghanistan jatuh ke tangan Taliban, Juru bicara Taliban urusan politik Mohammad Naeem pun mengatakan perang telah usai.
Hal itu disampaikan kepada Al Jazeera Mubasher TV seperti dilansir dari kompas.com pada Senin (16/8/2021).
Ya, pernyataan itu disampaikan Naeem beberapa saat setelah Taliban memasuki ibu kota Afghanistan, Kabul.
Sementara itu, dilansir dari Surya.co.id, kelompok Taliban berhasil mengambil alih kekuasaan di Afghanistan melalui serangan besaran-besaran.
Serangan senjata secara masif selama sepekan itu membuat Presiden Afghanistan melarikan diri. Terbang menggunakan helikopter ke luar negeri.
Bocoran intelijen menyebutkan, di balik kekuatan Taliban itu, ternyata ada bantuan China. Sebagai gantinya, China dikabarkan dibantu oleh Taliban menangani etnis Uighur.
Intelijen barat menyebut, China memasok uang untuk membeli senjata. Selain urusan etinis Uighur, sumber intelijen meyakini China mengharapkan sumber daya mineral dan jalur perdagangan lewat Afghanistan.
"China memberikan dukungannya kepada Taliban dengan harapan mendapat peluang kesepakatan di masa depan," papar sumber tersebut seperti dikutip dari Kompas.com.
Sumber telik sandi itu menerangkan, selama periode 1990-an Taliban melakukan banyak kesepakatan senjata dengan Uighur.
"Tetapi, mereka kemungkinan tidak akan melanjutkannya lagi karena dijanjikan dukungan keuangan," jelasnya.
"Selain itu, mereka (Beijing) juga berkepentingan mendukung pemberontakan yang mendiskreditkan pencapaian Barat di sana," lanjutnya.
Penjelasan Jubir Pemerintah
Juru bicara pemerintah China hari Senin (16/08/2021) di Beijing mengatakan bahwa China siap memperdalam hubungan "yang bersahabat dan kooperatif" dengan Afghanistan.
Hal ini setelah Taliban menguasai negara itu menyusul jatuhnya Ibu Kota Kabul ke tangan Taliban pada Minggu (15/08/2021).
Beijing mempertahankan hubungan tidak resmi dengan Taliban selama penarikan pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan, yang membuat Taliban mampu menguasai ibu kota di Kabul pada Minggu, (15/08/2021).
China berbagi perbatasan sepanjang 76 kilometer dengan Afghanistan dengan kondisi alam yang keras di sepanjang perbatasan.
Beijing telah lama khawatir Afghanistan bisa menjadi pijakan bagi separatis minoritas Uighur di wilayah perbatasan sensitif provinsi Xinjiang.
Tetapi delegasi tingkat tinggi Taliban bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi di Tianjin akhir Juli lalu dan menjanjikan Afghanistan tidak akan digunakan sebagai basis bagi militan mana pun, termasuk separatis minoritas Uighur.
Sebagai gantinya, China menawarkan dukungan ekonomi dan investasi untuk rekonstruksi Afghanistan.
Pada Senin (16/08/2021) China mengatakan "menyambut baik" kesempatan untuk memperdalam hubungan dengan Afghanistan, sebuah negara yang selama beberapa generasi diperebutkan kekuatan dunia karena kepentingan geo-strategisnya.
"Taliban telah berulang kali menyatakan harapan mereka untuk mengembangkan hubungan baik dengan China, dan bahwa mereka menantikan partisipasi China dalam rekonstruksi dan pembangunan Afghanistan," kata juru bicara kementerian luar negeri Hua Chunying kepada wartawan.
"Kami menyambut ini. China menghormati hak rakyat Afghanistan untuk secara mandiri menentukan nasib mereka sendiri dan bersedia untuk terus mengembangkan hubungan persahabatan dan kerja sama dengan Afghanistan."
Hua meminta Taliban untuk "memastikan transisi kekuasaan yang mulus" dan menepati janjinya untuk merundingkan pembentukan "pemerintahan Islam yang terbuka dan inklusif" serta memastikan keamanan warga Afghanistan dan warga negara asing.
Kedutaan China di Kabul tetap beroperasi, kata Hua, meskipun Beijing mulai mengevakuasi warga China dari negara itu beberapa bulan lalu di tengah situasi keamanan yang memburuk.
Dalam sebuah pernyataan hari Senin, kedutaan China mengatakan kepada warganya yang tersisa di Afghanistan untuk "memperhatikan situasi keamanan" dan tinggal di dalam rumah.
Presiden AS Joe Biden menjanjikan penarikan penuh pasukan AS pada 11 September, menandai berakhirnya perang selama dua dekade.
Tetapi Washington dikejutkan oleh cepatnya pemerintah Afghanistan runtuh dan besarnya kemajuan Taliban.
China berulang kali mengkritik apa yang dilihatnya sebagai penarikan tergesa-gesa Amerika Serikat dari Afghanistan yang dipandang China sebagai kegagalan kepemimpinan Amerika Serikat.
Pengambilalihan Afghanistan oleh Taliban membuka pintu strategis ke China yang sarat dengan risiko dan peluang.
Beijing dipandang akan mengutamakan stabilitas di Afghanistan yang sudah beberapa dekade dilanda peperangan, karena memiliki prioritas untuk mengamankan dan memajukan investasi strategis Beijing di Pakistan, yaitu koridor ekonomi China-Pakistan.
Bagi Beijing, pemerintahan yang stabil dan kooperatif di Kabul akan membuka jalan bagi perluasan Belt and Road Initiative ke Afghanistan dan Pakistan yang melalui republik-republik Asia Tengah, kata para analis.
Sementara itu Taliban mungkin menganggap China sebagai sumber investasi dan dukungan ekonomi yang penting, baik secara langsung atau melalui Pakistan, yang merupakan pelindung regional Taliban dan sekutu dekat Beijing.
China sejauh ini belum secara resmi mengakui Taliban sebagai pemimpin baru Afghanistan, tetapi Wang Yi menyebut mereka sebagai "kekuatan militer dan politik yang menentukan" selama pertemuan bulan lalu di Tianjin.
(*)