Gridhot.ID - Belakangan ini media sosial dihebohkan dengan fenomena yang cukup mengejutkan.
Fenomena tersebut adalah tren jasa sewa handphone iPhone.
Tren ini pun mendadak ramai dan jadi perbincangan warganet di media sosial.
Jasa ini ternyata diminati sebagian orang, bahkan menjadi peluang bisnis baru.
Seperti yang diunggah oleh akun Twitter ini.
Dilansir Gridhot.Id dari Twitter, tampak foto tangkapan layar jasa penyewaan iphone berbagai tipe, lengkap dengan pricelist harga sewa per 24 jam.
"mau gaya bisa sewa iphone bos, gausa beli kalo sewa bisa terjangkau. Monggo wa langsung," tertulis dalam unggahan foto tersebut.
Hingga Senin (6/12/2021), twit tersebut sudah mendapat lebih dari 9.365 likes dan 1.568 retweets.
Lantas, bagaimana pandangan sosiolog mengenai fenomena ini?
Konsumsi simbolik
Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono menjelaskan, hal ini merupakan fenomena masyarakat konsumsi simbolik.
Di dalam masyarakat konsumsi simbolik, yang dipentingkan bukan hanya nilai suatu barang, melainkan sebuah simbol pengakuan dari lingkungan.
“Kalau barangnya kan nilai guna, tapi kalau simbol itu nilai penghormatan atau pengakuan, status, identitas orang,” kata Drajat, saat dihubungi Kompas.com, Senin (6//12/2021).
Artinya, seseorang yang menggunakan produk-produk bermerek dengan harga mahal dan identik digunakan oleh orang kaya, hal itu membuat yang bersangkutan menilai dirinya sedemikian rupa.
“Bukan barangnya bisa dipakai atau tidak, tapi orang menilai saya seperti itu,” lanjut Drajat.
Tidak ada batasnya
Drajat menegaskan, konsumsi simbolik tidak ada batasnya, karena orang mementingkan pengakuan dari lingkungannya dan terus mengikuti perkembangan yang ada.
“Kalau konsumsi yang biasa produk ada batasnya, jadi kalau saya misalnya perlu jam untuk melihat waktu, cukup saya beli satu jam, satu udah cukup,” tutur dia.
“Tapi kalau simbolik, saya bisa berganti-ganti (barang tertentu) dan saya bisa memakai dengan variasi yang beraneka ragam untuk mendapatkan pengakuan-pengakuan yang lebih,” tambah Drajat.
Menurut Drajat, masyarakat yang semakin hidup dalam realitas-realitas yang penuh dengan media sosial atau digital, membuat kecenderungan untuk konsumsi simbolik akan semakin berkembang dikarenakan dapat ditunjukkan ke orang lain secara luas.
“Karena kemudian bisa direkayasa dan bisa disebarluaskan dalam skala yang luas,” papar dia.
Dampak konsumsi simbolik
Drajat menyampaikan, konsumsi simbolik dapat berdampak pada yang bersangkutan dan lingkungannya.
Orang yang mengalami konsumsi simbolik tidak bisa mengendalikan konsumsinya dengan baik.
“Kalau dia terus mengejar simbol padahal simbol itu diciptakan oleh perusahaan yang selalu berubah, akhirnya konsumsinya tak terbatas atau over consumption, konsumsi yang melampaui kemampuan dari daya dukung ekonomi dia sendiri,” papar dia.
Selain itu, orang yang mengalami konsumsi simbolik akan mengejar simbol yang tidak berhenti-henti, bahkan terus-menerus diciptakan mengikuti perkembangan zaman.
“Agak sulit melakukan kontrol terhadap konsumsinya, yang disebut smart consumption itu menjadi sulit karena dia mengejar simbol yang tidak berhenti-berhenti,” kata Drajat.
“Produk terus diciptakan agar orang kemudian membutuhkan, orang kemudian menginginkan, yang ini menjadi masalah disebut over consumption, konsumsi yang melebihi kemampuan dan kebutuhan yang sesungguhnya,” pungkas dia.(*)