GridHot.ID - Keputusan Polri untuk tidak memecat mantan narapidana (napi) korupsi AKBP Raden Brotoseno menuai kontroversi.
Propam Polri beralasan AKBP Raden Brotoseno tidak dipecat karena dianggap berprestasi.
Meskipun demikian, dikutip dari Kompas.com, Propam Polri tak merinci prestasi apa yang dibuat oleh AKBP Raden Brotoseno.
"Adanya pernyataan atasan AKBP R Brotoseno dapat dipertahankan menjadi anggota Polri dengan berbagai pertimbangan prestasi dan perilaku selama berdinas di kepolisian," kata Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Irjen Pol Ferdy Sambo dalm keterangan tertulis Senin (30/5/2022).
Selain itu pertimbangan lainnya, karena suami Tata Janeeta itu juga telah menjalani masa hukuman 3 tahun 3 bulan dari putusan Pengadilan Negeri Tipikor.
Dilansir dari Tribunnews.com, tak dipecatnya eks napi korupsi AKBP Raden Brotoseno dari institusi Polri disorot oleh seorang Psikolog ForensikReza Indragiri Amriel.
Reza seharusnya kepolisian menjadi institusi yang memiliki ketaatan hukum level tertinggi dibandingkan institusi lainnya.
Karena itu, dia menyebut institusi kepolisian harus punya standar etika, standar moralitas, dan standar ketaatan hukum pada level tertinggi.
"Bagaimana polisi bisa diandalkan untuk pemberantasan korupsi kalau ternyata malah bertoleransi terhadap perwiranya yang melakukan korupsi," kata Reza dalam keterangan tertulis dilansir dari Tribunnews, Rabu (1/6/2022).
Menurut Reza, tidak dipecatnya eks napi korupsi dinilai bisa menjadi bumerang kepada Polri sendiri.
Ini karena ada potensi eks napi korupsi melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari.
Berdasarkan riset, kata Reza, diketahui tingkat pengulangan kejahatan kerah putih adalah lebih tinggi daripada kejahatan dengan kekerasan.
Hal ini belum ditambah dengan hasil risk assesment menyimpulkan bahwa risiko residivismenya tinggi.
"Maka sungguh pertaruhan yang terlalu mahal bagi Polri untuk mempertahankan personelnya tersebut. Apalagi ketika yang bersangkutan ditempatkan di posisi-posisi strategis yang memungkinkan ia menyalahgunakan lagi kewenangannya," urai pria yang juga betugas sebagai Konsultan Lentera Anak Foundation ini.
"Jadi, pantaslah kita waswas bahwa personel dimaksud akan melakukan rasuah lagi nantinya," tambahnya.
Kebiasaan menutup-nutupi
Reza mengkaitkan tidak dipecatnya eks napi korupsi dengan kebiasaan Wall of Silence di organisasi kepolisian.
Wall of Silence sendiri diartikan sebagai kebiasaan menutup-nutupi penyimpangan sesama polisi.
Oleh karena itu, bagi Reza penting untuk memastikan Wall of Silence juga menjangkiti Polri atau tidak.
Lebih spesifik, apakah mempertahankan AKBP Brotoseno bisa dianggap sebagai bentuk Wall of Silence oleh institusi Polri.
"Tapi pastinya, dari ribuan polisi yang disurvei, kebanyakan mengakui bahwa Wall of Silence berlangsung masif. Semakin parah, lebih dari separuh menganggap subkultur destruktif itu bukan masalah," tegasnya.
"Itu artinya, kembali ke poin pertama, andai personel tersebut melakukan lagi aksi kejahatan kerah putihnya, maka poin kedua, kecil kemungkinan reoffending tersebut akan menjadi kasus hukum. Terjadilah Wall of Silence. Publik tak akan tahu-menahu," papar Reza.
Terakhir, Reza menyayangkan tidak dipecatnya eks napi korupsi dari institusi Polri.
Hal ini bisa menimbulkan spekulasi publik yang menganggap Polri memberikan perlakuan istimewa kepada AKBP Raden Brotoseno. (*)