Tak Perlu Khodam, Pangeran Diponegoro Cuma Pakai Pusaka Sakti Ini untuk Buat Penjajah Kewalahan Setengah Mati, Sempat Disimpan Belanda Puluhan Tahun Padahal Sudah Diminta Indonesia

Jumat, 30 September 2022 | 17:42
IST

Pangeran Diponegoro.

Gridhot.ID - Khodam merupakan jin pendamping yang mengikuti manusia.

Dikutip Gridhot dari sonora, beberapa khodam yang menjadi terkenal adalah khodam macan atau harimau putih milik Prabu Siliwangi dan khodam milik Patih Gajah Mada.

Khodam-khodam tersebut dipercaya memiliki kekuatan yang membuat manusia yang mereka dampingi menjadi berjaya.

Berbeda dengan para pemimpin kerajaan tersebut, Pangeran Diponegoro justru bisa menang berperang tanpa khodam sama sekali.

Namun Pangeran Diponegoro memiliki sebuah pusaka yang menjadi andalannya.

Pusaka tersebut bernama Kyai Nogo Siluman.

Dikutip Gridhot dari Intisari, Kyai Nogo Siluman merupakan salah satu keris milik Pangeran Diponegoro.

Seperti diketahui, Pangeran Diponegoro merupakan salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa melawan pemerintah Hindia Belanda selama periode tahun 1825 hingga 1830.

Saat perang itu berakhir Pangeran Diponegoro dilaporkan menyerahkan kerisnya kepada Hendrik Merkus de Kock, letnan gubernur jenderal Hindia Belanda.

Kemudian, ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949, disepakati bahwa barang-barang Diponegoro akan dikembalikan, yang artinya termasuk keris tersebut.

Pada tahun 1968 sebuah perjanjian budaya ditandatangani dan pada tahun 1975 barang-barang yang akan dipulangkan didaftarkan.

Baca Juga: Bolak-balik Mangkir Panggilan KPK hingga Dicap Pejabat Publik Tak Baik, Proses Hukum Lukas Enembe Ternyata Bisa Dihentikan Jika Terpenuhi Syarat Ini

Namun ketika pelana, tombak, dan payung Diponegoro dikirim kembali, rupanya keris tidak.

Baru pada 2020 lalu, setelah 45 tahun berlalu sejak perjanjian ditandatangani, keris tersebut akhirnya dikembalikan oleh Belanda kepada Indonesia.

Keris Kyai Nogo Siluman disimpan Belanda di Museum Etnologi sebelum dikembalikan ke Indonesia.

Mengutip The Guardian, pada tahun 1831, keris tersebut diberikan kepada kabinet kerajaan langka Raja William I, raja pertama Belanda dan adipati agung Luksemburg.

Itu diberikan sebagai bagian dari koleksi yang kemudian dipindahkan ke tempat yang sekarang menjadi Museum Etnologi.

Kolase akun Twitter @giewahyudi
Kolase akun Twitter @giewahyudi

Keris Pusaka Pangeran Diponegoro, Kyai Nogo Siluman

Sejarawan seni, Jos van Beurden mengatakan hilangnya keris selama beberapa dekade disebabkan oleh kurangnya pengaturan dan keengganan untuk mengembalikan harta karun kepada Indonesia.

Keris Kyai Nogo Siluman merupakan keris yang dibawa kemana-mana oleh Pangeran Diponegoro, termasuk saat berperang.

Selain keris Kyai Nogo Siluman, Pangeran Diponegoro juga sering membawa beberapa keris lainnya.

Seperti yang diceritakan alam buku Takdir Sejarawan Pangeran Diponegoro 1785-1855, oleh sejarawan Peter B Carey.

Keris lain yang sering dibawanya misalnya keris Kyai Abijoyo yang merupakan hadiah dari ayahnya dan kyai Ageng Bondoyudo.

Keris memang merupakan senjata perang pada masanya, namun bukan berarti alat khusus untuk membunuh.

Baca Juga: Disaksikan Ketua Komnas HAM, Lukas Enembe Telepon Dirdik KPK, Isi Perbincangan Diungkap Kuasa Hukum Gubernur Papua: Jangan Ada Lagi Narasi Dijemput Paksa

Dikutip dari Majalah Adiluhung Pelestarian Budaya Nusantara Edisi 17, dalam peperangan, keris digunakan sebagai kendel atau tulangan.

Itu pula yang dilakukan Pangeran Diponegoro, yaitu membawa keris pusaka untuk menambah kepercayaan dirinya saat berperang.

Dipercaya atau tidak, nyatanya Belanda sering kewalahan selama perang menghadapi Pangeran Diponegoro.

Meski akhirnya menyerahkan diri, pertempuran Pangeran Diponegoro melawan Belanda berlangsung sengit.

Tribun Medan

Kyai Nogo Siluman, keris milik Pangeran Diponegoro.

Di akhir perang, pasukan Pangeran Diponegoro dijepit di Magelang oleh Jenderal de Kock.

Awalnya tetap kukuh, tetapi demi membebaskan sisa pasukannya, Pangeran Diponegoro akhirnya rela menyerahkan diri.

Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado Sulkawesi Utara, kemudian ke Makassar Sulawesi Selatan hingga akhir hidupnya.

Perang Diponegoro yang terjadi selama lima tahun itu menimbulkan dampak yang sangat besar bagi Indonesia.

(*)

Tag

Editor : Angriawan Cahyo Pawenang

Sumber intisari, Sonora.ID