Gridhot.ID - Inilah profil Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Eddy Hiariej dijerat dengan pasal dugaan penerimaan suap dan gratifikasi.
"Pada penetapan tersangka Wamenkumham, benar, itu sudah kami tanda tangani sekitar dua minggu yang lalu," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dikutip dari Kompas.com, Kamis (9/11/2023).
Adapun perkara dugaan korupsi yang menjerat Eddy ini berawal dari laporan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso terkait dugaan penerimaan gratifikasi Rp 7 miliar pada 14 Maret 2023.
Eddy diduga menerima gratifikasi Rp 7 miliar dari pengusaha bernama Helmut Hermawan yang meminta konsultasi hukum kepada Eddy.
Uang itu diterima terkait dengan jabatan Eddy meskipun peristiwanya berkaitan dengan permintaan bantuan seorang warga negara kepada Eddy.
Adapun kejadian itu terjadi pada April-Oktober 2022.
Bantahan Eddy sebelum jadi tersangka
Setelah diperiksa KPK sebagai saksi pada 20 Maret dan 28 Juli 2023, Eddy membantah laporan gratifikasi senilai Rp 7 miliar yang mengarah kepadanya.
"Kami melakukan klarifikasi kepada KPK atas aduan IPW yang tendensius mengarah kepada fitnah," kata dia, Senin(20/3/2023).
Dalam klarifikasi itu, Eddy mengaku telah menyampaikan beberapa bukti. Namun, dia tidak membeberkannya karena bersifat rahasia.
"Nanti KPK yang akan mengumumkan," ujarnya.
Meskipun merasa difitnah, Eddy tidak melaporkan pelapor ke pihak berwajib.
Menurutnya, IPW sebagi pelapor merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memang bertugas mengawal dan menyuarakan beberapa persoalan.
Menurutnya, dirinya hanya perlu melakukan klarifikasi saja atas tuduhan itu.
Profil dan perjalanan karier Eddy
Dikutip dari laman Kemenkumham, Eddy lahir di Ambon, Maluku pada 10 April 1973.
Eddy lulus SMA pada 1992, kemudian melanjutkan studi S1 dengan mengambil jurusan Sarjana Hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1993-1998.
Ia kemudian melanjutkan S2 di bidang Ilmu Hukum di kampus yang sama pada 2002-2004 dan menempuh pendidikan jenjang S3 di UGM pada 2007-2009.
Sebelum menjadi Wamenkumham, Eddy fokus sebagai dosen di Fakultas Hukum UGM.
Kemudian pada 2002-2007, Eddy menjadi Asisten Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UGM.
Sejak 1999, Eddy menjabat sebagai dosen UGM dan menjadi Guru Besar Ilmu Hukum Pidana UGM pada 2010.
Jabatan Wamenkumham diembannya sejak dilantik Presiden Jokowi pada 23 Desember 2020.
Pernah kritik UU Cipta Kerja
Eddy sebelum menjadi Wamenkumham dikenal sebagai salah satu sosok yang mengkritik Undang-Undang Cipta Kerja.
Dirinya saat itu menyebut, UU Cipta Kerja berpotensi menjadi 'macan kertas' karena tak memiliki sanksi efektif.
Ia juga menilai ada kesalahan konsep penegakan hukum dalam UU Cipta Kerja, terutama terkait pertanggungjawaban korporasi ketika melakukan pelanggaran.
Menurutnya dalam UU itu, pertanggungjawaban korporasi berada dalam konteks administrasi atau perdata.
Saksi ahli dalam persidangan
Eddy tercatat beberapa kali menjadi ahli dalam persidangan.
Ia pernah dihadirkan sebagai ahli dalam sidang kasus penodaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 2017.
Namun, kehadiran Eddy pada saat itu sempat menimbulkan persoalan yang membuat jaksa penuntut umum menolak kesaksian Eddy.
Pasalnya, Eddy sempat menghubungi jaksa dan menyatakan bahwa dirinya akan diajukan sebagai saksi ahli oleh penasihat hukum jika jaksa tak menghadirkannya sebagai ahli.
Nama Eddy juga sempat menjadi perbincangan ketika ia menjadi ahli dalam sidang perselisihan hasil Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi.
Saat itu, Eddy dihadirkan sebagai ahli oleh pasangan capres dan cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Dalam sidang tersebut, kredibilitas Eddy sempat dipertanyakan Bambang Widjojanto yang saat itu menjadi Ketua Tim Hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Ketika itu, Bambang menanyakan berapa banyak buku dan jurnal internasional yang ditulis Eddy terkait persoalan pemilu.
Sosok Eddy juga pernah menjadi ahli dalam sidang kasus kematian Wayan Mirna Salihin atau dikenal sebagai kasus kopi sianida.
Kala itu Eddy mengatakan, pembuktian hukum dalam perkara pidana tidak memerlukan bukti langsung atau direct evidence.
Kekayaan Eddy
Merujuk pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) milik Eddy yang dilaporkan pada 2 Maret 2023, ia memiliki total kekayaan Rp 20,6 miliar atau tepatnya Rp 20.694.496.446.
Jumlah itu terbagi dalam tanah dan bangunan, alat transportasi dan mesin, serta kas dan setara kas.
Terdapat pula utang yang dimiliki Eddy.
Untuk tanah dan bangunan, Eddy memiliki4 titik yang semuanya berada di Sleman, Yogyakarta.
Empat bidang tanah dan bangunan itu memiliki nilai sebesar Rp 23 miliar.
Untu alat transportasi dan mesin, Eddy memiliki3 mobil yang jumlahnya mencapai Rp 1.210.000.000.
Kemudian, kas dan setara kas sejumlah Rp 1.933.937.234. Dalam laporan itu, Eddy memiliki utang sebesar Rp 5.449.440.788 atau Rp 5,4 miliar.
(*)