Psikolog Sebut Ada Bagian Otak Junaedi Siswa SMK Pembunuh Satu Keluarga di Kaltim yang Belum Sempurna

Jumat, 09 Februari 2024 | 19:25
TikTok

Pelaku pembunuhan satu keluarga di Babulu, Kalimantan Timur sempat membuat video sebelum melakukan aksinya.

Gridhot.ID - Pembunuhan satu keluarga yang dilakukan oleh seorang siswa SMK di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu, Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur.

Dikutip Gridhot dari Kompas TV, pelaku bernama Junaedi diketahui masih berusia 17 tahun dan tega membunuh lima orang secara sadis.

Junaedi membunuh lima orang yang merupakan satu keluarga tersebut menggunakan parang.

Sebelum membunuh, Junaedi mabuk terlebih dahulu untuk pada malam hari.

Junaedi kemudian mengambil parang di rumahnya dan langsung mematikan saklar rumah korban lalu melakukan aksi keji tersebut.

Siswa SMK itu tak hanya membunuh, namun juga merudapaksa anak pertama dan ibu korban.

Aparat desa yang mendapatkan laporan langsung menelpon polisi hingga akhirnya Junaedi bisa ditangkap usai menjalani penyelidikan mendalam.

Kasus ini membuat heran banyak orang terkait sosok Junaedi yang masih pelajar namun sudah berbuat di luar nalar.

Teka-teki kenapa Junaedi yang masih pelajar bisa begitu sadis saat habisi nyawa 1 keluarga di Babulu sepertinya mulai terjawab.

Dikutip Gridhot dari Tribun Kaltim, salah satu Psikolog Klinis di Samarinda yakni Ayunda Ramadhani, mengatakan seseorang melakukan kejahatan tentu memiliki motif.

Dia menyatakan, tindakan agresif Junaedi tentu membuat banyak orang keheranan.

Baca Juga: Santai Ajak Kakaknya Laporkan Pembunuhan, Ini Pengakuan Mengerikan JND Siswa SMK di PPU yang Tega Habisi 5 Orang dalam Satu Keluarga

Mengingat pelakunya masih di bawah umur namun bisa melakukan tindakan sekeji itu.

Tetapi mengingat pelaku kali ini masih berusia di bawah 18 tahun maka perlu masyarakat ketahui bahwa anak remaja belum bisa menimbang konsekuensi atas perbuatan yang dilakukannya.

"Karena proses berfikirnya masih belum berkembang sempurna. Bagian otaknya yang disebut PFC atau Pre frontal cortex belum sempurna," katanya kepada TribunKaltim.co pada Kamis (8/2/2024).

Namun lanjutnya, ada juga faktor lain yang membuat remaja tersebut begitu nekat.

Seperti faktor internal dari sisi kepribadian atau ada dorongan agresi yang sudah lama dipendam.

Tentu saja Junaedi kesulitan mengendalikan diri ketika merasakan emosi negatif sehingga perilakunya cenderung merusak dan menyakiti.

Ia menjelaskan, karakter itu bisa muncul ketika anak tumbuh dalam lingkungan yang penuh kekerasan

"Pelajari latar belakang keluarganya. Bisa jadi anak ini pernah menjadi korban kekerasan dari orangtuanya atau lingkungannya, sehingga dia melewati proses belajar yang salah," jelas Ayunda.

Ia juga menjelaskan, usai ditetapkan menjadi tersangka dan terus mendapat tekanan dari lingkungan sosial, Junaedi berpotensi menyimpan dendam yang membuatnya bisa mengulangi hal yang sama.

Oleh sebab itu, untuk menghindari hal tersebut, Ayunda menekankan pentingnya pendampingan psikolog terhadap Junaedi.

Dimana dalam pendampingan itu, Junaedi diberi edukasi dan diajari cara mengelola emosi yang lebih baik.

Baca Juga: Siswa SMK Pelaku Pembunuhan 1 Keluarga di Penajam Paser Utara Hobi Lihat Anime Syur, Tabiat Buruknya Dibongkar Keluarga Korban

Cara Hindari Perbuatan Berulang

Selain itu, lanjutnya, ada beberapa cara untuk meminimalisir faktor risiko perbuatan berulang oleh Junaedi.

Pertama, apabila Junaedi pernah menjadi korban KDRT, maka orangtuanya pun perlu diberi edukasi agar ketika sang anak bebas bukan dikucilkan tetapi dirangkul oleh keluarga terdekat.

Kedua, masyarakat juga diminta untuk aware atau peduli.

Sebab, meskipun pelaku terbilang sadis namun secara biologis dia tetaplah anak di bawah umur yang belum bisa mengelola emosi dengan baik.

"Saya banyak lihat komen netizen di IG. Ngeri-ngeri. Itu pengaruh lho. Sangat berpengaruh ke psikis si pelaku. Bisa jadi dia semakin marah dan dendam sehingga perbuatannya bisa berulang," ucapnya.

Juga selama proses hukum para penyidik diharapkan memberikan sisi humanis karena pelaku masih di bawah umur.

"Bukan membela tapi dia masih di bawah umur. Jangan dibully karena itu sangat berpengaruh ke psikis dia," tegas Ayunda yang juga sebagai dosen Psikologi di Universitas Mulawarman Samarinda ini.

Sebagaimana diketahui kasus Junaedi ini masih terus berlanjut di meja hukum.

Atas perbuatannya pelajar ini disangkakan Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 60 ayat 3 juncto Pasal 76 huruf c Undang-undang Perlindungan Anak, dengan ancaman hukuman mati atau sekurang-kurangnya penjara seumur hidup.

(*)

Tag

Editor : Angriawan Cahyo Pawenang

Sumber Kompas TV, Tribun kaltim