"Karena saya memperoleh pendidikan di Jakarta, lingkungan urban yang sama sekali tak akrab dengan kehidupan ningrat, saya pun tak paham apa arti ningrat dalam kehidupan ini. Status Mas Herjuno tak penting untuk saya."
"Sebab itulah saya tak pernah berpikir atau menganalisis suatu saat Mas Herjuno akan terpilih menjadi sultan menggantikan ayahandanya."
Baca Juga : Miris, Presiden Sudan Terancam Digulingkan Rakyat Hanya Karena Naikkan Harga Roti Jadi Rp 900 Perak!
GKR Hemas juga berpikir apakah nanti jika menikah dengan Sri Sultan dirinya bisa diterima oleh pihak keraton.
"Apakah Mas Herjuno dan pihak Keraton bisa menerima saya secara apa adanya? Apakah saya, dengan latar belakang budaya Jakarta, bisa beradaptasi dengan budaya Keraton?"
"Apakah saya bisa berubah menjadi pribadi yang bertingkah-laku halus selayaknya putri-putri Keraton?"
GKR Hemas lantas mengutarakan kegelisahannya itu kepada Mas Herjuno.
"Yang penting saya senang sama kamu. Dan kamu harus bersedia patuh pada saya," ujar Sri Sultan kala itu.
Diterangkan pula pada GKR Hemas jika menikah dengannya nanti haruslah mentaati kewajiban-kewajban, baik sebagai pribadi maupun fungsinya dalam keluarga besar Keraton.
Terlebih GKR Hemas nantinya diharuskan beradaptasi dengan budaya keraton.
Setelah mendengar penjelasan Mas Herjuno, GKR Hemas langsung cabut, kabur ke Jerman.
"Apakah saya mampu? Kesangsian itu terus melanda saya. Begitu hebatnya keragu-raguanitu, hingga saya sempat kabur ke Jerman, menjumpai kakak di sana," ujarnya.