Proyek yang mulai dikerjakannya sejak 2011 itu tidak melakukan pemodelan, tapi membandingkan dan mengukur data dari studi sebelumnya, untuk menghasilkan perhitungan terperinci.
"Itu tidak dimodelkan, jadi kita hitung pakai studi paleoseismology (mengamati sedimen dan bebatuan geologis untuk menilik tanda gempa bumi purba, red) dan kita meneliti publikasi sebelumnya," ujar Mudrik.
Salah satu studi yang berkontribusi dalam penelitian Mudrik adalah kajian vulkanostratigrafi sesar Lembang yang dibuat oleh Kartadinata.
Baca Juga : Manokwari Diguncang Gempa 6,1 SR, Warga Berlarian Selamatkan Diri Takut Datangnya Tsunami
Vulkanostratigrafi merupakan ilmu yang mempelajari urutan dari rekaman kegiatan vulkanik dengan pemahaman satuan vulkanostratigrafi, yaitu satuan–satuan lapisan yang terpetakan terdiri dari batuan vulkanik yang terbentuk di darat (subaerial) atau di dalam air (subaqueous) oleh proses vulkanik yang penentuannya berdasarkan sumber, jenis litologi, dan genesanya.
Mudrik mengatakan, studi vulkanostratigrafi yang dikajinya menjelaskan tentang set unit batuan dan umurnya.
"Kemudian saya mempelajari lebih detail lagi mengenai pergeseran-pergeseran sungai. Dari situ kita menemukan jarak geser dan umur yang sudah diteliti sebelumnya. Terus kemudian kita bagi itu, (pergeseran) jarak dan umur (batuan) kita ketemu kecepatan atau slip rate-nya," imbuhnya.
Slip rate sesar Lembang diketahui sebesar 1,95 sampai 3,45 milimeter per tahun.
Baca Juga : Hujan Deras Guyur Manokwari Usai Gempa 6,1 SR Mengguncang
Sesar lembang yang membentang sejauh 29 kilometer itu bisa menghasilkan gempa bumi dengan kekuatan 6,5 sampai 7,0.
Batas ujung sebelah barat dimulai dari daerah Padalarang, Ngamprah, Cisarua, Parongpong, Lembang, Gunung Batu, Maribaya, Batu Lonceng, kemudian tanda sesar aktif menghilang di sekitar Palintang.