Selain itu, serangan kali ini juga harus menjadi panggilan agar pemerintah Indonesia lebih serius dalam mendukung penelitian terhadap racun dan antivenom. Secara khusus, Tri mengusulkan untuk menciptakan program nasional dalam penanganan kasus-kasus semacam ini.
Pasalnya, Indonesia memiliki kondisi geografis dan kekayaan hayati yang unik. Selain tawon dan ular, Indonesia juga memiliki banyak hewan lain yang beracun, misalnya belalang, ulat bulu, dan ubur-ubur. Hewan-hewan ini belum tentu sama dengan yang di luar negeri sehingga antivenomnya pun bisa jadi berbeda.
Akan tetapi, belum banyak ahli yang tahu dan bisa membuat antivenom di Indonesia. Perusahaan farmasi yang ada sekarang pun tidak bisa mengatasi karena harus fokus dalam membuat vaksin.
“Jadi, saran saya adalah Indonesia harus membuat pabrik baru khusus untuk venom ini dan merekrut peneliti untuk membuat antivenomnya,” ujar Tri.
Selain itu, Tri juga mengharapkan adanya Pusat Racun atau Poison Center di Indonesia untuk mewadahi para ahli yang tertarik dengan bidang ini. Poison Center akan menjadi universitas, rumah sakit dan pusat riset untuk menangani racun-racun hewan di Indonesia.
“Kita punya rumah sakit untuk infeksi, rumah sakit untuk jantung, tapi rumah sakit untuk toksinologi itu belum ada. Padahal kita ini butuh rumah sakit toksinologi. Karena kalau ada kasus begini, kita rujuk ke mana? Kan rumah sakit olahraga juga ada, jadi harusnya sudah waktunya kita punya rumah sakit toksinologi ini,” ujarnya. (Kompas.com/Shierine Wangsa Wibawa)
Artikel ini sudah tayang di Kompas.com dengan judul 7 Orang Jadi Korban, Bagaimana Sengatan Tawon Ndas Membunuh Manusia?