Sampai di ruang tunggu, kereta ranjang berhenti. Rupanya di ruang sebelah yang dibatasi kaca tembus pandang dr. Terawan sedang “menggarap” pasien. Saya turun dan ikut melihat dari kaca.
Rupanya ada kerabat pasien yang berdiri di antara ahli anestesi yang memantau layar-layar monitor yang menampilkan detak jantung, nadi, dan dua layar monitor dengan gambar pembuluh darah di leher dan otak disertai kawat kateter yang bergerak-gerak.
Musik instrumental terdengar. Dokter Terawan keluar ketika urusan pasien dibereskan oleh anggota tim. Sambil melepas rompi antiradiasi ia menyapa kerabat pasien, “Bu, suaminya dijaga ya. Sekarang matanya sudah tidak minus lagi, jadi kalau melihat cewek pasti lebih jelas. Hahaha.”
Dokter meneguk air mineral dalam botol, dan tak lama kemudian perawat membawa saya masuk ke ruangan dingin itu. Beberapa perawat laki-laki memindahkan badan saya ke tempat tidur yang menjadi bagian peralatan angiografi buatan Jerman itu.
Ada sejumlah panel, beberapa monitor, dan tubuh saya dipasangi alat pemantau detak jantung dan tekanan darah. Pangkal paha yang tadi diolesi jel diolesi lagi. Kemudian dia menyuntik bagian itu, dia bilang agar tidak sakit ketika dimasuki selongsong untuk dilalui selang kateter.
Dokter Terawan masuk dengan pakaian berbalut rompi antiradiasi. Musik instrumental terdengar keras memainkan lagu Ave Maria. Sementara kamera pemindai bergeser, bergerak meliuk di atas kepala saya.
Dokter menyuntik lagi bagian yang disuntik tadi, tapi tetap pegal dan pedih. Bahkan sampai beberapa jam berikutnya.
Tangan dokter bergerak-gerak seperti memompa sesuatu yang menghasilkan bunyi “tek-tek-tek”. Saya melirik gambar monitor di sisi kiri atas, terlihat sesuatu mirip seutas tali bergerak-gerak di sisi kanan rongga dada saya, terus naik menuju leher.
Kawat kateter sedang beraksi. Tak ada rasa apa-apa kecuali perih dan pegal di pangkal paha.
“Sekarang saya akan masukkan rasa mentos ke sebelah kanan,” kata dr. Terawan. Benar, bagian kanan kepala dan muka saya seperti disiram mentol sampai saya menjilat bibir sendiri.
Beberapa menit berlangsung, selalu diiringi bunyi “tek-tek-tek” yang kemudian diikuti suara seperti ban sepeda dikempeskan. Itu rupanya proses “cuci otak” saya. Cairan disemprotkan, pembuluh darah yang menyempit digelontor, dan yang buntu ditembus, kemudian dikeluarkan.
Proses dilakukan berulang. Ibarat tune-up pada sepeda motor, karburator disemprot dengan cairan penyumbat agar aliran bahan bakar lancar sehingga kecepatan bertambah.