Gridhot.ID - Terguling dan matinya Presiden Soekarno serta John F Kennedy membuat suasana hubungan diplomatik Indonesia-Amerika berubah arah.
Pengganti Kennedy, Lyndon B. Johnson langsung bersikap jika Indonesia adalah negara yang patut dilabeli 'Bahaya' karena bisa merusak kepentingan nasional Amerika Serikat (AS).
Salah satu agenda kepentingan nasional AS di Indonesia tentu tak jauh-jauh dari mendapatkan kekayaan alam negeri ini yang tak mungkin ada di negara mereka atau sudah habis.
Ketertarikan AS kepada Indonesia berawal pada tahun 1959.
Baca Juga : Tak bisa Terurai, Seorang Mahasiswa Temukan Bungkus Mi Instan yang Selama 19 Tahun Terombang-ambing di Laut
Saat itu musim panas 1959, presiden Freeport Charles Wright sedang mencari cara bagaimana perusahaannya bisa menambang lebih banyak Nikel di Kuba.
Tapi apa lacur, Fidel Castro tak mau lagi memperbesar peranan Freeport dan berencana memutus kerjasama antar keduanya dalam mengeksploitasi nikel milik Kuba yang sudah bercokol semenjak Fulgencio Batista berkuasa di sana.
Wright pusing bukan main karena bisa dipastikan Freeport bakal buntung di Kuba jika Fidel Castro melakukan hal itu.
Namun Wright bakal segera melupakan nikel Kuba setelah mendapat laporan dari salah satu insinyurnya, Forbes Wilson.
Agustus 1959, Wilson bertemu dengan Jan van Gruisen, direktur pelaksana East Borneo Company.
Dalam pertemuan itu, Gruisen mengatakan kepada Wilson kalau ia baru saja menemukan sebuah buku laporan karya Jean Jacques Dozy yang dibuat pada tahun 1936.
Buku itu tersembunyi dalam rak-rak perpustakaan di Belanda dan hampir saja hancur kala negeri Kincir Angin dikuasai Nazi Jerman.
Gruisen mengatakan jika dalam laporan tersebut mengatakan ada sebuah gunung yang dijuluki 'Ertsberg' (Gunung Tembaga) di Nugini Belanda (Papua).
Mendengar ini mata Wilson langsung berbinar, tak berapa lama ia lantas mengajukan permohonan kepada Charles Wright agar dirinya di danai untuk eksploirasi lebih lanjut Gunung Tembaga itu bersama dengan East Borneo Company.
Wright yang mendengar hal ini girang bukan main, ia tak perlu berpikir dua kali untuk dan langsung menyetujui pendanaan bagi Wilson.
Segera setelah kontrak kerjasama antara Freeport dan East Borneo Company ditandatangani pada 1 Februari 1960, Wilson segera terbang ke Nugini Belanda.
Dalam bukunya The Conquest of Copper Mountain, Wilson menjelaskan sesampainya di Nugini Belanda ia dibantu oleh penduduk asli setempat menuju Gunung Tembaga.
Beberapa bulan Wilson mengeksplorasi daerah itu untuk membuktikan apa yang dikatakan Gruisen benar.
Dan Wilson mendapati apa yang ia kira tidak ada di bumi, yakni sebuah gunung berisi perak dan emas.
"Tingkat mineralisasi yang sangat tinggi."
"Ertsberg ternyata mengandung 40% hingga 50% besi ... dan 3% tembaga ... Tiga persen sudah cukup banyak untuk deposit tembaga."
"Ertsberg juga mengandung sejumlah perak dan emas yang langka!" ujar Wilson.
Bukti-bukti ini lantas dikirim Wilson ke markas besar Freeport di New York.
Kalkulasi segera dilakukan dan hasilnya jika Freeport berhasil menambang Ertsberg maka kerugian perusahaan atas gagal totalnya di Kuba dapat terganti dalam rentang waktu cuma tiga tahun saja.
"Konsultan perusahaan awalnya mengkonfirmasi perkiraan kami tentang 13 juta ton bijih tambang di atas tanah dan 14 juta di bawah tanah untuk setiap kedalaman 100 meter dan memperkirakan bahwa biaya pabrik untuk memproses 5.000 ton bijih dalam sehari sekitar $ 60 juta."
"Dari data ini, departemen keuangan Freeport menghitung bahwa perusahaan dapat memulihkan investasinya dalam tiga tahun dan kemudian mulai mendapatkan keuntungan yang menarik," papar Wilson dalam laporannya.
Namun cengkeraman Freeport atas Ertsberg hampir batal lantaran Soekarno mengobarkan Trikora dan berhasil merebut Irian Barat dari tangan Belanda.
Ia tahu akal bulus AS akan gunung Tembaga itu dan Presiden John F Kennedy juga menjamin jika negaranya tak akan ikut campur mengenai apa pun yang akan dilakukan Indonesia di Irian Barat.
Untuk sebab itulah kedua pemimpin dunia itu dienyahkan oleh CIA.
Hingga akhirnya pada 7 April 1979 Freeport berdiri setelah Soekarno tumbang dan sinar Orde Baru menyingsing di Indonesia. (Seto Aji/Gridhot.ID)