Aku selalu teringat, betapa ibuku, yang seorang dokter lulusan Universitas Indonesia tahun 1965 rela melepas kariernya sebagai dokter anak.
Perempuan lemah lembut ini memilih tinggal di rumah untuk mengurus suami dan kedua putranya.
Hidup di perantauan Eropa menimbulkan banyak risiko dan tanggung jawab. Kami tak punya pembantu.
Ibuku yang mungil rela mengerjakan semua tugas rumah tangga, hingga mengantar Ayah berangkat kerja. la yang punya SIM (ayahku tidak) laiknya seorang sopir pribadi.
Pagi mengantar ke dermaga ferry, malam pergi lagi menjemput.
Ibuku amat mandiri. la juga menularkan sikap itu pada kami berdua. Aku dan adikku diajar tidak canggung mengerjakan tugas seorang perempuan.
Mencuci, menyetrika, memasak, dan menjahit bukan hal yang sulit bagi kami. Waktu kami tinggal di Jerman, sementara Ibu harus mendampingi Ayah yang bertugas di Indonesia, kami menikmati "kemandirian yang terlatih" olehnya.
(*)