Oleh karena demikian vital peran pesawat tempur dalam suatu peperangan, duel udara untuk saling menghancurkan pesawat lawan demi meraih supremasi udara dan sekaligus gelar ace bagi para pilotnya menjadi demikian mematikan.
Seperti seorang sniper yang makin berkibar namanya karena berhasil mengeleminasi musuh terpilih sebanyak mungkin, demikian juga seorang pilot ace.
Makin banyak seorang pilot ace merontokkan pesawat musuh, namanya pun akan menduduki peringkat teratas bak kesatria udara yang tak terkalahkan.
Pilot ace dengan peringkat teratas bahkan menjadi semacam simbol pahlawan perang yang dibanggakan oleh seluruh pasukan di negaranya dan mampu menaikkan moril tempur pasukan yang sedang jatuh.
Bahkan ketika negara asal para pilot ace kalah dalam peperangan, nama para pilot ace tetap berkibar dan dikenang sepanjang massa.
Seperti pilot TNI AU Kapten Ignatius Dewanto yang pernah menembak jatuh pesawat pembom B-26 AUREV Permesta di atas Ambon pada Mei 1958.
Tentu saja untuk mencapai keunggulan udara (air superiority), selain didukung oleh profesionalisme para pilotnya juga harus didukung oleh ketersediaan pesawat-pesawat tempur berteknologi canggih.
Hadirnya satu skuadron SU-35, kelak di jajaran TNI AU jelas akan mampu menaikkan keunggulan udara itu. Sekaligus menunjukkan air power TNI AU yang makin bertaring dan menciptakan efek gentar (detterent) yang makin nggenggirisi (lethal).
Negara-negara asing, termasuk Australia (yang kerap pesawatnya kerap terbang melanggar batas) mesti berhitung ulang. Mereka tak bisa lagi memandang remeh kekuatan udara Indonesia.
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul "Su-35 Bikin TNI AU Makin Bertaring, Australia atau Negara Asing Lain Tak Bisa Lagi Iseng di Langit Indonesia"