Gridhot.ID - Soekarno atau Bung Karno memang memiliki berbagai macam kisah sedih di akhir hayatnya.
Kepiluan seakan menghampiri justru ketika dirinya sudah hampir menyentuh titik-titik akhir.
Sang anak, Guruh Soekarnoputra juga menceritakan mengeani pengalamannya menemani sang ayah di akhir hayatnya.
Peristiwa menyedihkan datang silih berganti dalam kehidupan Guruh remaja. Setelah angkat kaki dari Istana Merdeka, kesehatan ayahnya makin memburuk. Lalu suatu hari didapat kabar, BK dalam keadaan kritis.
Tapi Ibu Fatmawati tetap tak menjenguk BK. Akhirnya BK dimakamkan di Blitar, sesuai dengan sejumlah amanatnya sebelum ia wafat. Bagaimana keadaan Guruh setelah itu?
Tulisan hasil wawancara dengan Guruh Soekarnoputra ini diambil dari Tabloid NOVA edisi Agustus 1989, dengan judul asli Saat BK Wafat, Sampai BK Dimakamkan, Fatmawati Tetap Tak Hadir.
Minggu pagi, sekitar pukul 05.00 aku dibangunkan Ibu dan diminta datang ke kamarnya. Waktu itu memang tinggal aku dan Ibu saja yang tinggal di Sriwijaya.
Sedangkan Mbak Rahma dan Mbak Sukma mengontrak rumah di Jalan Wijaya, Jakarta Selatan. Sementara Mas Guntur tinggal di Bandung dan Mbak Mega mengikuti suaminya ke Madiun (Jawa Timur).
Dengan sangat hati-hati Ibu memberitahukan bahwa Bapak dalam keadaan kritis. Aku masih ingat, saat itu di wajah Ibu tergambar kepasrahan yang sangat mendalam.
Bahkan Ibu sempat berkata, "Jika nanti sampai pada saat yang paling buruk, kalian jangan bersedih. Kita harus rela dan jangan sekali-kali kalian menangis." Sepertinya Ibu yakin benar bahwa Bapak tak akan lama lagi meninggalkan kami.
Tentu saja aku kaget sekali mendengar berita itu. Bagaimana tidak. Sehari sebelumnya sewaktu aku menengok Bapak ke rumah sakit, Bapak masih bisa membaca koran. Bahkan aku masih sempat meladeninya makan buah pepaya.
Namun tentu saja bila setiap kali aku dan kakak-kakakku pergi menengok Bapak, Ibu tak pernah ikut serta.
Memang sepertinya antara Ibu dan Bapak telah ada suatu "perjanjian" meskipun aku tak tahu persis apa isi perjanjian itu. Yang aku tahu persis, Ibu memang sama sekali tak mau bertemu muka dengan istri-istri Bapak.
Berzikir
Setibanya aku, kakak-kakakku dengan istri dan suaminya masing-masing di rumah sakit, tim dokter sedang berdiri mengerumuni tempat tidur Bapak. Sementara aku dan kakak-kakakku belum diperbolehkan masuk ke kamar Bapak.
Setelah tim dokter meninggalkan Bapak, barulah aku masuk untuk melihat keadaan Bapak. Aku melihat Bapak mulai tidak sadar.
Sementara Ibu sendiri di Sriwijaya, begitu kami berangkat menuju rumah sakit, tidak henti-hentinya berzikir hingga akhirnya berita kematian Bapak sampai ke telinganya.
Hanya sesaat aku dan kakak-kakakku berada di kamar Bapak, lalu kami diminta dokter untuk meninggalkan kamar. Namun tidak lama kemudian, karena keadaan Bapak semakin buruk kami diminta dokter untuk menunggui Bapak.
Di saat-saat terakhir menjelang kepergian Bapak itulah aku hanya bisa berdoa dan berdoa...
Amanat
Pukul 07.00, Minggu 21 Juni 1970, Bapak menghembuskan napasnya yang terakhir. Aku bersyukur kepada Tuhan karena bisa menunggui kepergian Bapak.
Lalu kami diminta meninggalkan kamar Bapak, dan setelah itu aku melihat banyak sekali tentara yang katanya dari bagian dokumenter ada di dalam ruangan itu.
Tidak lama kemudian datang bergiliran Bu Hartini, Bu Dewi, dan Kartika dan kemudian Bapak Soeharto dan Ibu Tien.
Setelah jenazah Bapak selesai dimandikan dan peti jenazah sementara tiba, sekitar pukul 13.00 Bapak dibawa ke Wisma Yaso untuk disemayamkan semalam dari di situ peti jenazahnya ditukar dengan yang lebih bagus lagi.
Sesaat kemudian halaman wisma dipenuhi pelayat yang seakan tak bisa dibendung lagi. Bahkan salah satu pintu masuknya jebol oleh desakan pelayat yang ingin mendekat ke peti jenazah Bapak.
Sewaktu aku pulang ke Sriwijaya, Ibu sempat menanyakan keadaan Bapak. Namun tetap saja tidak mau melayat Bapak. Ibu hanya mengirimkan karangan bunga berwarna merah-putih untuk Bapak. Di malam itu, di Sriwijaya sedang dibicarakan penentuan tempat pemakaman Bapak.
Hal ini disebabkan adanya amanat dari Bapak, bahwa beliau ingin dimakamkan di bawah pohon yang rindang, dan di dekat pemakaman itu melintas sungai. Bapak juga minta agar tidak dipasang batu nisan di atas pemakamannya.
Sebagai gantinya Bapak menghendaki sebuah batu ditaruh di atas pemakamannya, dengan tulisan Bung Karno penyambung lidah rakyat.
Namun akhirnya disepakati Bapak dimakamkan di Blitar. Senin, sekitar pukul 10.00 jenazah Bapak berangkat dari lapangan terbang Halim Perdana Kusuma. Dengan menumpang pesawat Hercules kami mengantar Bapak ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Di sepanjang jalan aku melihat lautan manusia melepas kepergian Bapak. Bahkan di lapangan terbang sewaktu pesawat mulai tinggal landas, ada yang histeris dan mengejar sambil tangannya menggapai-gapai badan pesawat. Aku juga melihat di sepanjang jalan banyak orang mencucurkan air matanya.
Pesawat yang membawa jenazah Bapak kemudian mendarat di Malang. Perjalanan ke Blitar dilanjutkan dengan konvoi mobil. Baru seminggu kemudian Ibu mau menengok makam Bapak.
Kalau Aku mengingat-ingat kembali saat-saat kepergian Bapak, sepertinya kejadian itu baru kemarin berlangsung. Aku merasa benar-benar kehilangan Bapak dan seorang pemimpin.
Melihat pelayat yang seperti lautan manusia itu, aku teringat pesan Bapak. "Semakin banyak orang mencintai kita, itu pertanda bahwa semakin banyak pula musuh kita."
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul Tak Ingin Lihat Istri-Istri Suaminya, Fatmawati Tak Pernah Jenguk dan Hadiri Pemakaman Bung Karno.
(*)