"Tidak. Kita pakai mobil biasa, jalan biasa, ikut arus kendaraan yang ada di sana, memang macet sekali, tapi ya apa boleh buat," paparnya.
Nishigaki juga bingung masih banyak korupsi terjadi di Indonesia hingga kini sehingga clientnya mungkin agak kesal menghadapi banyaknya korupsi berseliweran di Indonesia terutama di bidang Bea Cukai dan Pengadilan.
"Dulu sekitar empat tahun lalu saya mendampingi client untuk bidang transportasi yang kena banyak dimintai uang korupsi supaya usahanya bisa lancar," lanjutnya.
Dari tiga negara yang terkait korupsi ditanganinya bidang transportasi saat itu, yaitu di Indonesia, Vietnam dan Uzbekistan, jumlah uang korupsi yang harus dibag-bagi mencapai 140 juta yen atau sekitar Rp.19,6 miliar.
"Jumlah itu total korupsi dari tiga negara. Di Vietnam ditangani dengan baik dan dihukum orangnya. Tapi di Indonesia dan di Uzbekiztan orangnya tidak diapa-apakan. Saya tak mengerti deh mengenai Indonesia," tekannya lagi.
Kalau di Jepang, tambahnya, jelas sudah segera masuk penjara atau denda sangat mahal sekali kalau korupsi dilakukan oleh petugas negara.
"Di Jepang tidak pernah ada kasus Hakim yang melakukan korupsi. Tapi saya mendapat laporan banyak hakim dan atau petugas hukum di Indonesia yang justru melakukan korupsi. Kalau tak berikan uang kepada semua pihak itu, proses tidak akan jalan tampaknya," paparnya lagi.
Keprihatinan tersebut terus terang membuatnya pusing kepala bukan hanya dirinya sebagai Pengacara tetapi juga client nya para pengusaha Jepang yang ada di Indonesia.
"Korupsi kan tidak ada tanda terima. Bagaimana melakukan pembukuan kalau uang ke luar tidak jelas. Ini tidak akan bisa dilakukan oleh kita orang Jepang. Pertanggungjawaban penggunaan uang harus jelas dan tak akan mungkin penggunaan uang untuk korupsi, karena di Jepang akan kena tindak pidana baik pihak penyuap maupun yang menerima uang suap."