Ketua Sub Komisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan kala itu, Kunthi Tridewiyanti, mempertanyakan alasan mengapa hanya perempuan yang menjadi sasaran utama penyebab kerusakan moral sehingga diperlukan tes keperawanan.
Menurutnya, jika keperawanan dipersoalkan, maka seharusnya keperjakaan laki-laki juga ikut dipersoalkan.
"Dalam kasus Prabumulih, kerusakan moral (anak-anak dan remaja) ditimpakan kepada perempuan. Sementara laki-laki dianggap suci dan ditempatkan di tempat yang baik," ujarnya di Jakarta, pada 22 Agustus 2013 silam.
Menurutnya, masalah keperawanan dan keperjakaan sebenarnya persoalan pribadi.
Dengan demikian, tes keperawanan melanggar konstitusi, terutama Pasal 28B Ayat (2), Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28G Ayat (1) dan (2), Pasal 28I Ayat (2), dan Pasal 28 H Ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia.
Tak hanya itu, tes tersebut juga melanggar landasan hukum nasional lainnya, khususnya Pasal 2 UU No 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.
Ia meminta pencetus tes keperawanan juga tidak melupakan adanya hak-hak konstitusional yang dilanggar, terutama terkait kesehatan reproduksi perempuan dan hak pendidikan perempuan.
"Perempuan seharusnya bukan obyek, melainkan subyek yang harus dihormati. Yang harus dihargai martabatnya," katanya.
Seperti diberitakan, Dinas Pendidikan Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, merencanakan tes keperawanan kepada para siswi SMA di Prabumulih.