Laporan Wartawan Gridhot, Desy Kurniasari
Gridhot.ID - Warga di sejumlah daerah sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi dikejutkan dengan munculnya dentuman.
Bunyi dentuman tersebut beriringan dengan adanya erupsi Gunung Anak Krakatau (GAK) pada Jumat (10/4/2020) sekitar pukul 21.58 WIB.
Melansir Kompas.com, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Rahmat Triyono ST Dipl Seis MSc, dalam keterangan tertulisnya menyebutkan bahwa hal ini tidak ada kaitannya.
Kata Rahmat, sejak tadi malam hingga pagi hari ini pukul 06.00 WIB, hasil monitoring Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan tidak terjadi gempa tektonik yang kekuatannya signifikan atau cukup besar di wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta dan Provinsi Banten.
Meskipun ada aktivitas gempa kecil di Selat Sunda yang aktif saat erupsi Gunung Anak Krakatau terjadi, yaitu pada pukul 22.59 WIB dengan magnitudo M 2,4.
Episenter gempa itu terletak pada koordinat 6,66 LS dan 105,14 BT tepatnya di laut pada jarak 70 km arah Selatan Baratdaya Gunung Anak Krakatau pada kedalaman 13 kilometer.
Namun demikian, rupanya bunyi dentuman tersebu masih menyisakan misteri bagi masyarakat.
Kini justru muncul dugaan bahwa asal dari dentuman tersebut berasal dari Gunung Salak.
Sebab, di waktu yang nyaris bersamaan terjadi hujan petir di sekitar Gunung Salak.
Hal ini pun kemudian memicu netizen Twitter menjadikan Gunung Salak sebagai trending.
Dilansir dari Wartakotalive.com, trending Gunung Salak dimulai sejak Sabtu malam hingga Minggu dini hari.
Semula trending dengan kata Gunung Salak, mulai Minggu Dini Hari disertai tanda pagar (tagar) menjadi #GunungSalak.
Berdasarkan kejadian tersebut, senada dengan BMKG, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kembali memastikan dentuman yang terdengar oleh sebagian masyarakat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) bukan berasal dari erupsi GAK.
"Bukan (dari GAK), melainkan dari sumber lain. Nah, sumber lainnya kami tidak bisa menentukan," kata Kepala Sub Bidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat PVMBG, Nia Khaerani, melalui sambungan telepon kepada ANTARA di Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan berdasarkan laporan dari pos pemantauan terdekat di sekitar GAK, petugas tidak menemukan bahwa dentuman itu berasal dari GAK karena intensitas erupsinya relatif kecil, sehingga tidak mungkin menghasilkan suara dentuman yang terdengar sampai 125 kilometer ke wilayah Jabodetabek.
"Apalagi di pos pengamatan Gunung Anak Krakatau sendiri yang jaraknya 42 km. Itu tidak terdengar," katanya.
Meski demikian, petugas di sekitar pos pemantauan Gunung Gede, Bogor, dan Gunung Salak di Sukabumi, menurut laporan memang mendengar juga adanya suara keras.
Tetapi mereka menduga suara itu berasal dari petir saat hujan petir yang terjadi menyusul erupsi di GAK.
"Jadi bukan hanya di Gunung Gede dan Gunung Salak yang mendengar petir, di sekitar Gunung Anak Krakatau pada saat bersamaan dengan erupsi itu memang terdapat juga hujan petir, karena saat ini sedang musim hujan disertai petir," katanya.
Terkait dengan suara dentuman, PVMBG sendiri memasang alat bernama infrasound untuk merekam kemungkinan adanya sinyal akustik dari erupsi gunung api.
Namun, infrasound hanya merekam gelombang suara yang tidak bisa didengar oleh telinga manusia, berbeda dengan dentuman yang terdengar oleh sebagian masyarakat di wilayah Jabodetabek.
"Jadi walaupun dengan alat itu dia terekam, tapi kan frekuensinya berbeda dengan dentuman yang langsung bisa terdengar oleh telinga manusia," katanya.
Oleh karena itu, Nia memastikan suara dentuman menyusul erupsi Gunung Anak Krakatau bukanlah berasal dari gunung tersebut, melainkan dari sumber lain yang belum diketahui secara pasti.
Kepala Badan Geologi, Rudy Suhendar, dalam tulisannya di akun Instagram resmi PVMBG KESDM juga sependapat dengan hal itu.
Ia menyimpulkan bahwa ancaman primer yang langsung dari erupsi GAK bersifat lokal karena lontaran batu atau lava hanya terlokalisir di tubuh gunung api.
"Sangat kecil kemungkinan, bahkan diabaikan ancaman bahaya seperti ini sampai ke Pulau Jawa atau Sumatera," katanya.
Suara dentuman, kata dia, tidak merefleksikan eksplosivitas erupsi, tidak juga dapat dijadikan indkator akan terjadinya erupsi besar.
Ancaman bahaya sekunder berupa abu vulkanik jangkauannya dapat lebih jauh tergantung arah dan kecepatan angin.
"Untuk hal itu PVMBG sudah menerbitkan VONA (Volcano Observatory Notice for Aviation) dengan kode warna orange," katanya.
VONA tersebut sudah terintegrasi dengan sistem penerbangan sehingga tindak lanjut dari stakeholder dari penerbangan dapat dilakukan.
Untuk itu, PVMBG mengimbau masyarakat di Pulau Jawa dan Sumatera untuk tidak khawatir terhadap kemungkinan dampak erupsi GAK.(*)