Undang-Undang itu mengatakan hewan sebagai sumber daya yang dimiliki negara, dan melindungi orang dari pemanfaatan sumber daya alam liar.
UU ini akhirnya mendororong domestikasi dan pembiakan hewan liar.
"Itu adalah masalah hukum yang menghancurkan, mengatakan satwa liar sebagai sumber daya alam berarti, itu adalah sesuatu yang bisa digunakan untuk kepentingan manusia," ujar Li.
"Peternakan lokal kecil berubah menjadi operasi skala industri dan populasi yang lebih besar berarti hewan hewan ini semakin banyak, semakin banyak pula membawa penyakit. Para petani membawa banyak jenis hewan liar, yang artinya lebih banyak virus di peternakan," imbuhnya.
"Meski demikian, hewan-hewan ini kemudian disalurkan ke pasar untuk mencari keuntungan," jelasnya.
"Hewan-hewan ini terancam punah, diperdagangkan Tiongkok, hingga pada akhirnya pemerintah China mulai menerapkan aturan ketat," paparnya.
Pada tahun berikutnya, China mulai menerapkan undang-undang untuk melindungi hewan yang terancam punah, sayangnya praktik ini terlanjur menjadi budaya di China.
Sementara penjual satwa liar mempromosikannya hewan liar memiliki kandungan khusus yang memiliki manfaat bagi tubuh, dan tentu saja bisa melawan penyakit.
Saat ini mayoritas orang Tiongkok sebenarnya sudah tidak memakan satwa liar.
Mereka yang mengonsumsinya adalah orang kaya dan penguasa dalam minoritas kecil.