Follow Us

facebookinstagramyoutube_channeltwitter

Kebijakan Pemerintah Indonesia Hadapi Corona Terburuk di Asia Tenggara, Peneliti Ungkap Kekesalannya Karena Pejabat Lebih Dengarkan Staf Ahli, Bukan Akademisi: Ini Ada Hitungan Ilmiahnya

Desy Kurniasari - Rabu, 20 Mei 2020 | 09:13
Pemkot Denpasar bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bergerak cepat untuk melaksanakan Swab Test masal.

Pemkot Denpasar bersama Ikatan Dokter Indonesia (IDI) bergerak cepat untuk melaksanakan Swab Test masal.

Laporan Wartawan Gridhot, Desy Kurniasari

Gridhot.ID - Pandemi global virus corona masih menjadi ujian bagi banyak negara.

Tak terkecuali Indonesia.

Berbagai kebijakan telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk menanggulangi pandemi ini.

Baca Juga: Ibu dan Jabang Bayinya Meninggal Gara-gara Corona, Dokter Tirta Ajak Beri Penghormatan pada Perawat RS Royal Surabaya: Bendera Setengah Tiang, 5 Tahun Lagi Belum Tentu Ada yang Ingat Hari Ini

Kebijakan-kebijakan tersebut rupanya mendapat perhatian dari media asing.

Melansir Wartakotalive.com, kebijakan untuk penanganan covid-19 di Indonesia bahkan disebut yang terburuk di Asia Tenggara.

Pasalnya, indikasi kematiannya yang berada di kisaran 7 persen, tertinggi di antara negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, yang sebagian besar sekitar 0-3 persen.

Baca Juga: Masih Aja Serakah! Ternyata Nggak cuma Rakyat Miskin yang Terima Bansos di Tengah Pandemi, Orang Kaya Banyak Juga yang Masih Tega Ngaku Kekurangan

Ini bukan semata-mata akibat gaya kepemimpinan Presiden Jokowi, yang lambat merespons dan menunjukkan kurangnya pemikiran strategis, seperti yang banyak dikemukakan.

Kegagalan Indonesia disebutkan meliputi keengganan pemerintah untuk memberikan jaminan sosial kepada mereka yang membutuhkan, dugaan penggunaan dana bantuan Covid-19, sedikit akuntabilitas dalam kaitannya dengan penggunaan uang terkait Covid-19.

Tak hanya itu saja, dilansir dari laman abc.net.au, terdapat sejumlah kebingungan untuk melihat status pandemi COVID-19 di Indonesia saat ini.

Pemerintah Pusat, Daerah, dan Ikatan Dokter Indonesia pernah memegang angka kasus yang berbeda.

Baca Juga: 'Hidup Berdamai dengan Corona' Lantang Digaungkan Presiden, Pemerintah Persiapkan Panduan Protokol Kesehatan untuk Jalani 'The New Normal', Ini yang Harus Dilakukan saat di Tempat Umum

Belum lagi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang pada penerapannya banyak dilanggar, tetapi sudah ada rencana untuk segera dilonggarkan tanpa alasan jelas.

Para pakar sains dan ilmuwan merasa tidak dilibatkan pemerintah saat mengambil keputusan, sehingga jika ada pernyataan Indonesia sudah aman dari virus corona, itu pun tidak memiliki bukti ilmiah.

Padahal menurut Professor Jeremy Rossman, Presiden dan pendiri dari Research-Aid Networks, masalah pandemi virus corona menjadi lebih kompleks saat tidak cukup data dan fakta sains.

Baca Juga: Hidup Segan, Mati Tak Mau: Imbas Pahit Corona, Ketahanan Perusahaan Indonesia Hampir Habis, Pekerjaan Makin Menipis, ILO Sarankan Pemerintah Lakukan Ini

Pakar virus dari University of Kent, Inggris ini menjelaskan masalah yang kompleks mempengaruhi perilaku psikologi, sosial, bahkan ekonomi dari setiap warganya.

"Jadi saya rasa yang diperlukan adalah memisahkan apa yang kita ketahui dari apa yang kita duga," ujarnya kepada ABC.

Memberi masukan jadi 'tantangan besar' Pandu Riono, epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) yang merancang pemodelan COVID-19 di Indonesia adalah salah satu orang yang sejak awal sadar pentingnya sains dalam penanganan wabah corona.

Sejak virus corona di Wuhan merebak, ia sudah mulai mempelajarinya sebagai langkah antisipasi bila virus ini masuk ke Indonesia.

Baca Juga: WHO Sudah Koar-koar Virus Corona Tak Bakal Hilang dari Dunia Ini, Mau Vaksin ataupun Obat Ditemukan Tak Bisa Lagi Dilenyapkan, Ini Alasannya

Yanuar Nugroho, seorang akademisi Indonesia mengatakan ada kesan pemerintah tidak serius sejak awal mewabahnya virus corona.

"Sejak bulan Januari kami sudah expect [menduga kasus corona ada di Indonesia] dan kesal juga, kok laporan [kasusnya] negatif terus. Denial [penyangkalan] pemerintah saat itu juga luar biasa tingginya," kata Pandu kepada Hellena Souisa dari ABC News.

Sikap menganggap enteng virus corona yang dipertontonkan pejabat Indonesia mendorong Pandu untuk giat meneliti wabah corona jika sewaktu-waktu pemerintah memerlukan bantuan.

Baca Juga: Nggak Ada Kapok-kapoknya, Lagi-lagi Kerumunan Terjadi di Tengah Wabah Demi Promo Pizza Beli 1 Gratis 1, Netizen: Nggak Papa Kena Corona yang Penting Makan

Pandu dan sejawatnya kemudian membuat pemodelan terkait lonjakan pasien jika kita tidak ada intervensi yang serius, yang akhirnya dipakai oleh BAPPENAS untuk mengestimasi kebutuhan rumah sakit.

Selain itu, ia juga mempresentasikan temuannya ke beberapa pemerintah daerah.

Tapi bukan berarti input-input yang diberikan Pandu langsung diterima oleh pemerintah.

"[Memberikan input kepada pemerintah] ini tantangan besar untuk saya, terutama bagaimana menerjemahkan penemuan akademis menjadi sebuah kebijakan," tutur Pandu.

Baca Juga: Positif Corona Usai Jalani Rapid Test, Pria Ini Buat Tim Medis yang Memeriksa Naik Pitam, Ngacir Pakai Motor karena Tak Mau Diangkut Ambulans

Selain soal mengkomunikasikan hasil temuan akademis, menurut Pandu kesulitan lainnya ada pada struktur dalam pemerintah itu sendiri.

"Para pejabat ini lebih mendengarkan staf ahlinya, bukan akademisi di luar seperti kami."

Ia kemudian mencontohkan bagaimana ia harus mencari dan berhadapan dulu dengan staf ahli sebelum bisa memberikan masukan kepada presiden.

Baca Juga: Beban Semakin Berat, Tenaga Medis Viralkan Tagar Indonesia Terserah dan Suka-suka Kalian Saja, Psikolog Angkat Bicara: Mereka Protes

"Pernah saya minta dikenalkan dengan stafnya, sudah bertemu tapi ternyata ia tidak peduli. Jadi kita harus strategis memilih segmen target policy makers," tutur Pandu.

Upaya yang dilakukan Pandu ini menunjukkan bukan hanya sulitnya memberikan masukan kepada pemangku kebijakan, tapi juga bahwa tidak ada usaha yang sistematis dalam melibatkan para akademisi di Indonesia.

"Harusnya sejak awal itu melibatkan semua perguruan tinggi. Harusnya LIPI berfungsi, Kemenristek dan Dikti juga [harusnya] berfungsi menghimpun masukan dari akademisi," kata Pandu.

Selain Pandu, ada juga akademisi lain yang berbicara kepada ABC dan mengeluhkan reaksi pemerintah saat ia mempresentasikan riset ilmiahnya terkait COVID-19.

Baca Juga: Diam-diam Menghanyutkan, Indonesia Ternyata Sudah Siapkan Obat Virus Corona, Agustus Siap Keluar dan Dijual ke Warung-warung Tanpa Perlu Resep Dokter

Menurutnya, para pejabat yang mengundangnya cenderung mencari model dan angka yang "cocok" untuk mereka, tanpa peduli dasar ilmu yang ia jelaskan.

"Begitu melihat angka saya, mereka protes, 'angkanya nggak cocok'. Saya jadi bingung, angka ini bukan soal cocok-cocokan. Ini ada hitungan ilmiahnya," ujar peneliti yang tidak ingin disebutkan namanya ini.

Baca Juga: China Akui Buang Sampel Virus Corona Saat Awal Mula Wabah Meluas, Tak Terima Disebut Sembunyikan Fakta, Ternyata Ini Alasannya

Peristiwa yang dialaminya ini membuat ia berkecil hati dan sangsi, apakah pemerintah mau mendengar dan menjadikan sains sebagai rujukan dalam pembuatan kebijakan.(*)

Source :Wartakotalive.com abc.net.au

Editor : Grid Hot

Baca Lainnya





PROMOTED CONTENT

Latest

Popular

Tag Popular

x