Gridhot.ID - Algojo narapidana mati memang jadi pekerjaan yang penuh resiko.
Salah satu kisah mengerikan dan menakjubkan sebagai algojo datang dari pria ini.
Darshan Singh barangkali layak dijuluki "pangeran samber nyawa". Data berbicara, sejak 1959 - 2005, lebih dari 850 orang meregang nyawa di tangannya.
Dalam rentang waktu itu pula, Singh hidup dalam "kegelapan", sebelum akhirnya pada tahun 2005 memutuskan hijrah ke dunia nyata yang "terang benderang".
Gelap dan terang memang bukan harga mati dalam kehidupan. Keduanya datang silih berganti.
Sebelum akhir tahun 2005, Darshan Singh sama sekali tak dikenal orang. Para tetangga lelaki keturunan India itu hanya tahu, Singh bekerja sebagai sipir di penjara Changi, Singapura.
Tapi apa jabatan - atau persisnya tugas - Singh di balik tebalnya tembok dan ketatnya penjagaan penjara Changi? Semuanya serba gelap.
Teman-teman dekatnya bahkan menyebut, lelaki yang kini berusia 75 tahun itu mirip agen dinas rahasia.
Identitasnya tak boleh diumbar sembarangan, kecuali atas izin pemerintah Singapura. Jenis pekerjaan Singh, berdasarkan Official Secrets Act. memang wajib untuk tidak dibicarakan kepada siapa pun. Termasuk kepada anak dan istri.
Alhasil, "Istri pertama saya minggat beberapa tahun lalu, tak lama setelah dia tahu pekerjaan saya yang sebenarnya," bilang Singh tegar.
Padahal, mereka telah hidup bersama puluhan tahun. Sang istri merasa dikhianati, dibohongi, dan dibodohi sekian lama. Bukan hanya mantan istrinya yang terkejut.
Ketika media massa berhasil menapaki jejak sang algojo terpidana mati dari penjara Changi itu, mata jutaan orang di luar Singapura ikut terbelalak.
Sejak itu. Singh yang juga dijuluki "legenda hidup" memulai hidup barunya di dunia yang terang benderang.
Penyandang rekor dunia
Track record algojo Changi rekor dunia ini memang menakjubkan (atau mengerikan?).
Sebagai tukang gantung (di Singapura, eksekusi terpidana mati dilakukan di tiang gantungan), dia tak hanya memegang rekor, tapi juga tercatat sebagai satu-satunya "tukang jagal" yang pernah mengeksekusi 18 terpidana mati (karena terlibat kasus pembunuhan empat orang sipir dalam keributan di penjara Pulau Senang, Singapura, 1963) hanya dalam tempo satu hari!
Rekor yang dipegangnya adalah mengeksekusi lebih dari 850 orang terpidana mati sepanjang 46 tahun!
Rekor lain yang tak kalah bikin merinding dibuat Singh beberapa tahun sebelumnya, ketika dia menggantung tujuh terpidana mati (kasus perampokan berdarah yang menewaskan seorang pedagang dan dua pembantunya di sebuah gerai emas) hanya dalam tempo 90 menit!
Dengan segudang "prestasi" itu, tak aneh jika di mata rekan-rekan sipirnya, Singh adalah legenda.
"Enam tahun lalu, untuk menandai eksekusi ke-500, kami membuat pesta kecil untuk dia," seru karibnya.
Bab terbongkarnya identitas Singh tidak kalah kontroversial dengan aksinya di depan tiang gantungan.
Kisahnya berawal ketika tahun 2002, Tuong Van, warga negara Australia keturunan Vietnam, ditangkap di Bandara Changi.
Tuong yang hendak kembali ke Australia kepergok menyembunyikan 400 g heroin.
Celakanya, di Singapura, tak ada ganjaran lain untuk orang dewasa yang memiliki narkoba lebih dari 15 g, selain hukuman mati.
Kasus ini sempat memanaskan hubungan Australia - Singapura. Tiga tahun Australia berusaha membebaskan Tuong. Namun, hasilnya nihil.
Pemerintah Singapura malah menjadwalkan eksekusi Tuong pada akhir 2005. Nah, beberapa bulan sebelum dilaksanakannya hukuman mati itulah, pers Australia balas menyerang dengan "menangkap" algojo yang akan mengeksekusi Tuong.
Siapa lagi kalau bukan Darshan Singh. Oleh media cetak The Australian, Singh dibujuk menceritakan suka dukanya sebagai algojo.
Keruan, pemerintah Singapura kebakaran jenggot. Pihak yang berwenang di Penjara Changi sempat berencana memberhentikan Singh, dan menyiapkan eksekutor pengganti buat Tuong.
Sebagai anggota "dinas rahasia", Singh dianggap telah kebablasan. Namun, rencana itu keburu didengar orang-orang di luar tembok penjara.
Lex Lasry, penasihat hukum Tuong mengaku tak rela kliennya digantung algojo yang sama sekali tidak berpengalaman. "Keputusan itu aneh. sangat aneh," kritiknya.
Kali ini pemerintah Singapura mengalah. "Status Darshan Singh tidak berubah. Dia tetap bersama kami, sebagai pegawai kontrak," tegas juru bicara pemerintah.
Artinya, meski tidak dinyatakan secara resmi, Tuong (dieksekusi November 2005) tetap menjadi "jatah" Singh, kakek yang telah berkali-kali memohon izin pensiun, tapi selalu ditolak atasannya.
Belakangan, setelah ribut-ribut Australia - Singapura mulai reda, kepada sebuah media cetak lokal Singh mengaku, ia dijebak oleh The Australian.
"Mereka datang ke apartemen saya, mengaku sebagai teman baik sahabat saya." ucap lelaki yang tinggal di Marsiling Road, Singapura, ini. Singh bahkan mengaku foto-foto dirinya yang muncul di berbagai media, semuanya diambil tanpa izin.
Ikan lepas dari air
Namun, sebagian besar teman dekat Singh berpendapat, curhat sipir bertubuh tambun di media itu sebenarnya cermin rasa frustrasi sang algojo.
Darshan Singh yang kini tinggal bersama istri kedua dan tiga anak angkat (semuanya sudah dewasa) sudah lama ingin mundur dan menjalani hidup sebagai manusia biasa.
Ia ingin mengubur dalam-dalam masa lalunya. Mengadopsi tembang grup band Seurius, bukan hanya rocker, algojo pun manusia, yang punya rasa dan punya hati.
Tapi setiap kali mengajukan permohonan pensiun, justru pil pahit yang didapat. Pemerintah Singapura sampai saat ini masih kesulitan mencari pengganti yang bermental sekokoh Singh.
Singh bercerita, pihak penjara pernah memintanya melatih dua orang sipir - satu orang Melayu, satu lagi keturunan Cina – yang dianggap layak menggantikannya.
Sayangnya, meski telah berlatih lama di depan tiang gantungan, "Saat harus menarik tuas, tubuh mereka mendadak beku, tak bergerak sama sekali. Padahal, terpidana mati harus segera dieksekusi," jelas Singh.
"Saking terpukulnya, satu di antara mereka, yang keturunan Cina, akhirnya mengundurkan diri sebagai sipir," kata Singh, yang sampai saat ini masih memanfaatkan Official Table of Drops bikinan tahun 1913, warisan pengadilan kolonial Inggris.
Berdasarkan angka-angka pada tabel kuno itulah, Singh menentukan panjang tali dan detail teknis lainnya, berdasarkan data tinggi dan berat badan si terpidana mati.
Singh sendiri mulai menjadi sipir sejak Singapura masih bergabung dengan Malaysia, pada pertengahan tahun 1950-an.
Setelah sang guru. Seymour (orang Inggris yang menjadi algojo tiang gantungan sebelumnya) pensiun, Singh langsung ditunjuk sebagai pengganti.
Saat itu ia baru berumur 27 tahun. "Awalnya, saya tertarik karena bonusnya Iumayan gede," ujar Singh, terakhir dibayar AS $ 312 per satu kali eksekusi.
"Dari Seymour saya tahu, algojo harus mengusahakan datangnya kematian secepat mungkin, agar orang yang kita eksekusi tidak mengalami siksaan. Makanya, hitung-hitungan tinggi dan berat badan terpidana, serta panjang dan kekuatan tali harus tepat betul," tutur pria yang lebih suka mengenakan kaus oblong, celana panjang, sepatu olahraga, dan kaus kaki setinggi lutut ketika melaksanakan eksekusi ini.
Singh bahkan sesumbar, di tangannya tak ada terpidana yang "tersiksa". "Mereka tidak akan menggeliat-geliat seperti ikan lepas dari air," imbuhnya.
"Tapi jangan berpikir saya tak punya rasa perikemanusiaan, karena menganggap eksekusi sebagai sesuatu yang begitu gampang dilakukan," tegas lelaki kelahiran tahun 1932 ini.
Singh mengaku, tugasnya menjadi jauh lebih berat, jika dia mengenal baik terpidana, atau sebelumnya telanjur membina persahabatan.
"Selain algojo, saya juga merangkap tukang cukur." ujar Singh tergelak. Saat mencukur rambut para narapidana itulah, acara ngobrol singkat kerap berkembang menjadi persahabatan.
"Berat, benar-benar berat rasanya. Karena tugas eksekusi tetap harus saya laksanakan," katanya dengan mimik serius.
"Sebagai manusia, kadang saya melihat mereka sebagai manusia yang baik. Saya menghormati dan berempati pada masalah mereka, meski pada akhirnya saya juga yang harus mengakhiri hidup mereka." Singh terlihat melankolis.
Karena hampir tidak mungkin berkegiatan yang menuntut sosialisasi dengan orang di luar tembok penjara, dunia gelap Singh memang terasa sempit.
Untuk mengurangi ketegangan atau mengalihkan kepedihan, Singh menyalurkannya pada keluarga dan sepakbola.
"Dia penggemar berat Klub Manchester United. Dia juga selalu menyempatkan diri nonton seluruh pertandingan Liga Inggris," cerita seorang teman dekatnya.
Sedangkan soal hukuman mati, Singh punya filosofi sendiri. "Hukuman mati itu proses rehabilitasi komplet. Mengirim mereka ke 'sana' adalah jalan terakhir dan terbaik. Saya juga percaya reinkamasi. Kelak, mereka akan dilahirkan kembali sebagai manusia yang lebih baik." sambung Singh, sambil membocorkan 'kalimat terakhir' yang selalu diucapkannya pada sahabat-sahabat terpidana matinya, "I am going to send you to a better place than this. God bless you."
Tak jelas, berapa banyak terpidana mati yang membalas, God bless you too, Mr. Singh.
Organ buat donor
Singapura termasuk negara yang sangat pede melaksanakan hukuman mati.
Amnesti Internasional pada 2004 melaporkan, sejak 1991 sampai saat laporan dibuat, tak kurang 420 orang digantung di negeri berpenduduk 4,2 juta jiwa ini.
Kebanyakan karena kasus obat bius. Jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya, jelas Singapura menjadi kota yang paling banyak menggantung manusia.
Hukum di Negeri Singa memang ketat. Siapa pun yang berusia 18 tahun ke atas dan kedapatan membawa narkoba di atas 15 g, bakal diancam hukuman mati.
Tapi mengapa hukuman gantung yang dipilih, bukannya hukuman tembak, suntik, atau kursi listrik?
"Jika dihukum gantung, sebagian besar organ penting terpidana tidak rusak, sehingga bisa didonorkan kepada orang yang lebih membutuhkan. Sebaliknya, kalau disuntik, ditembak, atau mati di kursi listrik, bisa dipastikan banyak organ penting yang rusak," Jawab Singh.
Bagaimana dengan di Indonesia? Sama dengan Singapura, Indonesia pun masih memberlakukan hukuman mati.
Tapi eksekusi dilakukan tidak di tiang gantungan, melainkan di ruang tembak. Sekitar setahun lalu, Jaksa Agung Abdurrahman Saleh pernah mengusulkan agar hukuman mati di Indonesia dilaksanakan dengan hukuman gantung, meskipun dalam undang-undang disebutkan, terpidana mati harus ditembak.
"Saya pikir, ada cara lain yang lebih berperikemanusiaan," tegas Jaksa Agung. Sekadar catatan, sejak 1978 - 2004, Indonesia 'baru' mengeksekusi 38 terpidana mati.
Hukuman mati sendiri sudah dihapus di 106 negara, termasuk 30 negara yang menghapusnya sejak 1990.
Jika tren menghapus hukuman mati ini terus bersambut, bukan tidak mungkin rekor Singh akan menjadi rekor dunia abadi, khususnya di era masyarakat modem yang mengagungkan hukum positif.
Artikel ini telah tayang di Intisari dengan judul Kisah Para Algojo: Gara-gara Punya 'Profesi' Menggantung Orang, Istrinya pun Minggat dari Rumah.
(*)