"Mengenai penyederhanaan produk sebaiknya kita lihat filosofinya. Ada regulasi pemerintah dan kesepakatan dunia, ada regulasi KLHK yang menetapkan untuk menjaga polusi udara ada batasan RON," kata Nicke.
Sementara itu, wacana penyederhanaan bahan bakar tak ramah lingkungan dengan menghapus premium sebetulnya bukanlah hal baru.
Komite Penghapusan Bensin Bertimbel sebelumnya mengusulkan premium dihapus karena tidak sesuai teknologi otomotif saat ini.
"Masa kita menggunakan BBM yang kualitasnya zaman 50 tahun yang lalu? Mending dihapus sekalian karena kalau digunakan, kendaraan kita akan cepat rusak," kata Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin.
Selain itu, Faisal Basri yang pernah tergabung dalam Tim Reformasi Tata Kelola Migas, juga pernah merekomendasikan agar impor BBM jenis RON 88 atau Premium dihentikan.
"Sesuai rekomendasi Tim, intinya premium RON 88 itu dihapus, hilang, tidak lagi dijual di SPBU. Buat apa? Di market hanya ada RON 92 ke atas," ujar Faisal.
Alasannya, sudah hampir tak ada lagi negara di dunia ini yang memproduksi bensin RON 88.
Selama ini, Pertamina mengimpor bensin RON 92 untuk diturunkan kualitasnya menjadi RON 88.
Caranya, mencampur bensin RON 92 dengan naphta, sehingga kadarnya turun menjadi RON 88. Namun, hal itu membuat harga premium jadi tinggi.
Sebelum tahun 2015, premium termasuk BBM bersubsidi, tetapi harga tinggi membuat biaya subsidi menjadi tinggi.