Namun akhirnya sahabatnya, Saleh Widodo, berhasil membujuknya.
Kasim mendapat gelar insinyur pertanian istimewa, bukan karena skripsi atau ujian kampus, namun karena baktinya selama 15 tahun yang tanpa pamrih dan tak digaji di Waimital.
Dalam 'Hanna Rambe' sebagaimana dikutip hutan-tersisa.org, Meski harus berjalan kaki berkilo-kilo meter keluar-masuk hutan dan perkampungan, Kasim yang memasuki usia 66 tahun (lahir di Langsa, Aceh Timur, 18 April 1938) tidak tampak kelelahan.
"Pekerjaan saya memang seperti ini. Tahun 1960-an saya pernah melintasi jalur ini sampai ke Lokop," ungkapnya.
Lebih detail lagi, Kasim menghitung laju kerusakan hutan per detik, yang menunjukkan angka 965 meter persegi.
Sementara pertambahan penduduk yang rata-rata tiga juta jiwa per tahun pada kenyataannya justru mempercepat laju kerusakan hutan, bukan memperbesar rehabilitasi hutan.
Kasim pun akhirnya mengajar menjadi dosen di Unsyiah, Aceh, dan 'terlambat menikah' serta dikaruniai 3 orang anak.
Dia juga menerima penghargaan kalpataru.
Pahlawan pertanian ini telah lama meninggal, namun banyak kisah dari hidupnya yang dapat dipjadikan pelajaran bagi generasi sekarang.(*)
Artikel ini telah tayang di Intisari-Online.com dengan judul "Mengharukan, Betapa Mahasiswa IPB yang 'Hilang' Selama 15 Tahun Ini Memilih Mengakrabi Para Petani dan 'Tinggalkan' Bangku Kuliah, Lebih Nyaman Pakai Sandal Jepit dan Kaos Lusuh"
Komentar