Dalam pemberitaan terkait diskusi daring tersebut, Mas Menteri menghubungkan kebijakan PPDB sistem zonasi dengan pernyataannya tentang sekolah negeri lebih tepat untuk anak-anak dari keluarga ekonomi rendah atau anak miskin.
Saya malah jadi menangkap kesan dari pernyataan tersebut, bahwa seolah-olah sekolah negeri memang tidak sejajar dengan sekolah-sekolah swasta papan atas yang berbayar sangat mahal, seperti sekolah CIKAL, Al Izhar, Al Azhar, Penabur, dan lain-lain.
Sebenarnya, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi adalah kebijakan yang dilahirkan oleh Menteri Muhajir Effendy pada tahun 2017 saat beliau baru menjabat sebagai Mendikbud RI.Dasar kebijakan PPDB sistem zonasi adalah mencegah pendidikan menjadi pasar bebas sehingga Negara harus hadir, dengan demikian seluruh anak Indonesia, baik kaya maupun miskin, pintar maupun tidak, berkebutuhan khusus/tidak berhak belajar di sekolah negeri, asalkan rumahnya secara jarak dekat dengan sekolah yang dituju.
Pada pelaksaan PPDB sistem zonasi tahun 2019, Mendikbud Muhajir bahkan sudah menetapkan jalur zonasi mencapai 80%, namun di era Mendikbud Nadiem diturunkan drastis menjadi 50%.Jika Mas Menteri konsisten dengan pernyataan yang disampaikan dalam diskusi daring yang diselenggarakan KPK pada 29/7 lalu, maka menurunkan jalur zonasi hingga sebesar 30% justru mengarah pada ketidak konsistenan dalam berpikir soal keadilan social yang juga Mas Menteri singgung.Mas Menteri juga menyatakan bahwa “Kalau kita hitung-hitung dari semua total jumlah kebutuhan sekolah di Indonesia dan kita proyeksikan ke depan, tidak mungkin [bisa terpenuhi] tanpa partisipasi pihak swasta,".Padahal, jumlah sekolah negeri yang yang sedikit, tidak menyebar merata dan semakin naik jenjang pendidikan jumlahnya semakin sedikit bukan barang baru, ini kondisi puluhan tahun yang lalu, masalah lama yang belum diselesaikan.Kalau Mas Menteri mau meningkatkan APK dan lamanya anak sekolah di Indonesia, maka program menambah jumlah sekolah negeri untuk jenjang SMP dan SMA/SMK mutlak dilakukan, terutama untuk daerah-daerah yang padat penduduk tetapi sekolah negerinya sangat sedikit dan tidak menyebar merata. Ini harus didasarkan pemetaan pemerintah daerah dan memerlukan kerjasama dengan pemerintah daerah.Sebagai menteri pendidikan, semoga Mas Menteri sudah menyadari bahwa lama belajar di Indonesia baru ditingkatkan 9,1 tahun dalam RPJMN 2020/2024, sebelum tahun 2020 lama belajar anak Indonesia rata-rata hanya 7,9 sampai 8,5 tahun.Lulus SMP normalnya adalah 9 tahun, itu artinya mayoritas SDM kita lulusan Sekolah Dasar (SD). Anak-anak yang putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan ke jenjang SMP dan SMA/SMK dikarenakan kemiskinan dan tidak ada sekolah negeri terdekat.Oleh karena itu, daripada menyebar uang APBN dalam program organisasi penggerak (POP) pada organisasi dan yayasan-yayasan yang mayoritas belum jelas rekam jejaknya dalam meningkatkan kapasitas guru dan kepala sekolah, mengapa Mas Menteri tidak mengalihkan anggaran untuk penambahan jumlah sekolah negeri jenjang SMA/SMK yang jumlahnya hanya 6.683 se-Indonesia, angka itu jauh dari mencukupi.Selama jumlahnya tidak ditambah, maka kericuhan PPDB tidak akan mereda tahun-tahun kedepan.Ketiga, Mengapa Menteri Nadiem yang milineal Tak Berdaya Mengatasi Persoalan PJJ bagi puluhan juta anak Indonesia ?Pada era pandemic Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) secara daring maupun luring sarat kendala, mengapa Mas Menteri yang dijuluki menteri milineal justru terkesan tak berdaya? Tidak terlihat langkah-langkah konkrit Kemdikbud mengatasi berbagai kendala PJJ, padahal hasil survey berbagai pihak terhadap PJJ fase pertama seharusnya dapat dijadikan dasar menyelesaikan masalah. Namun, tidak ada terobosan apapun selama berbulan-bulan, sehingga permasalahan pelaksanaan PJJ fase kedua masih sama.Padahal, jutaan anak Indonesia saat ini terkurung di rumah, dan para orangtua cemas terhadap efek jangka panjang pada anak-anak akibat terisolasi di rumah, kehilangan hak bermain, kesempatan bersosialisasi dan terlalu lama beristirahat dari kegiatan akademik dan ekstrakurikuler di sekolah.Data survey Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) fase 1 yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada April 2020 dan diikuti 1700 siswa, menunjukkan 76,7% responden siswa tidak senang belajar dari rumah.PJJ adalah “hal baru” bagi anak, orangtua, ataupun sekolah. Ibaratnya, tidak ada satu pihak pun yang memiliki bekal cukup untuk menjalaninya, baik secara pedagogis maupun psikologis.Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Survei KPAI terkait PJJ fase pertama berjalan tidak efektif dan 77,8% responden siswa mengeluhkan kesulitan belajar dari rumah dengan rincian : 37,1% siswa mengeluhkan waktu pengerjaan yang sempit sehingga memicu kelelahan dan stress; 42% siswa kesulitan daring karena orangtua mereka tidak mampu membelikan kuota internet, dan 15,6% siswa mengalami kesulitan daring karena tidak memiliki peralatan daring, baik handphone, komputer PC, apalagi laptop.Orang tua juga ikut tertekan saat mendampingi anak-anaknya melakukan PJJ secara daring, karena harus mengingatkan berbagai tugas belajar, mana yang sudah dikerjakan dan mana yang belum.Orang tua juga harus mengirim tugas-tugas anaknya kepada gurunya dalam bentuk foto dan video. Terbayang beratnya jika orangtua memiliki anak lebih dari satu yang bersekolah, termasuk beratnya kuota internet yang harus ditanggung orangtua.
Sementara itu, hasil survey yang dilakukan atas inisiasi pribadi oleh Komisioner KPAI bidang Pendidikan pada Juni 2020 terkait pembukaan sekolah menunjukkan hasil yang cukup menarik, dimana 66% orangtua dari 196.546 responden menolak sekolah di buka pada 13 Julli 2020.
Namun, penolakan orangtua berbanding terbalik dengan sikap anak-anak yang justru setuju sekolah segera di buka sebanyak 63,7% dari 9 .643 responden.
Disisi lain, sikap pendidik yang berasal dari jumlah sampel 18.111 responden guru sama dengan para siswanya, yaitu 54% setuju sekolah di buka.Para guru dan siswa mendukung sekolah dengan tatap muka karena PJJ di fase pertama dinilai tidak efektif dan sarat kendala, baik bagi siswa maupun bagi guru itu sendiri.
Mas Menteri, ada jutaan anak Indonesia yang saat ini terisolasi di rumah mengalami frustasi karena tidak terlayani PJJ. Berdasarkan survey KPAI, PJJ menunjukan kesenjangan yang lebar dalam akses digital di kalangan peserta didik.
Anak-anak dari kelas ekonomi menengah keatas terlayani PJJ secara daring karena kelompok ini memiliki segalanya yang dibutuhkan untuk belajar daring.
Namun, anak-anak dari keluarga ekonomi menengah ke bawah tidak terlayani dalam PJJ karena kelompok ini tidak memiliki segala hal yang dibutuhkan untuk PJJ daring. PJJ daring juga bias kota dengan desa dan bias Jawa dengan luar Jawa, 54% dari 608.000 anak Papua tidak terlayani PJJ daring karena tidak memiliki semuanya termasuk listrik.Bagi anak dari keluarga miskin kondisi PJJ secara daring yang tidak mampu mereka akses membuat anak-anak menjadi kehilangan semangat untuk melanjutkan sekolah, apalagi dalam beberapa kasus, anak-anak yang tidak bisa mengikuti PJJ maupun ujian secara daring dianggap tidak mengumpulkan tugas sehingga nilai koginitifnya banyak yang tidak tuntas dan bahkan nilai sikap diberi C sehingga akhirnya anak tersebut dinyatakan tidak naik kelas. KPAI menerima tiga laporan terkait siswa tidak naik kelas karena tidak mampu mengikuti PJJ secara daring.Mas Menteri, anda memiliki kewenangan sekaligus tanggungjawab besar bagi pelayananan dan pemenuhan hak atas pengajaran dan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Oleh karena itu, dengan kewenangan besar yang anda miliki, seharusnya Anda dapat meringan beban dan derita anak-anak Indonesia dalam PJJ fase kedua.
Untuk itu, saya mendorong batalkan program organisasi penggerak dan alihkan anggaran POP untuk mengatasi kendala PJJ yang sudah berlangsung hampir 5 bulan.