Namun simulasi ini membuka informasi baru, contohnya China memiliki keuntungan pembom darat dan rudal mereka dan keuntungan menembakkan peluru kendali besar-besaran, dan kemudian mempersenjatai kembali pembom dan peluncur rudal darat dari pangkalan yang berlokasi di daratan.
Sedangkan untuk AS, yang pangkalan militernya jauh sepertti Guam atau harus terbang dari Okinawa yang berada di titik tengah pertempuran, waktu mengeluarkan persenjataan mereka adalah keputusan yang penting, karena begitu F-35 menembakkan misilnya, akan diperlukan berjam-jam untuk kembali ke pangkalan, mengisi senjatanya lagi dan kembali ke zona pertempuran.
Hal inilah yang jadi salah satu pertimbangan Menteri Pertahanan AS Mark Esper untuk membangun pangkalan militer AS tambahan di Pasifik.
Paling signifikan dari simulasi ini adalah bagaimana permusuhan akan terus meningkat: awalnya China dan AS memasuki konflik dengan niat untuk tidak saling menyerang tapi ada banyak sekali kemungkinan di akhir permainan mereka saling menghancurkan kapal dan pesawat satu sama lain, dan China merasa harus melontarkan rudal ke pangkalan militer AS di Okinawa.
Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang selanjutnya menempati Gedung Putih tahun depan? Dengan pemilu AS di depan mata, kondisi dunia bisa berubah sangat cepat.
Pemerintahan Trump telah janjikan dukungan AS kepada Jepang atas sengketa kepulauan Senkaku, dan kemungkinan besar pemerintahan baru akan memilih mempertahankan persekutuan tersebut.
Namun melihat risiko yang ada, mendukung Jepang dalam konflik Tiongkok-Jepang berisiko tinggi terhadap pertempuran AS dan Tiongkok, dan jika serangan dua negara sudah dimulai, sangat sulit untuk dihentikan.
Bahkan, hal tersebut kemungkinan besar bisa ciptakan Perang Dunia Ketiga.(*)
Artikel ini telah tayang di Intisari-Online.com dengan judul "Jangan Melulu Pelototi Laut China Selatan, Tiongkok Rupanya Mulai Persiapkan Armadanya Kuasai Laut China Timur, Simulasi Perang Ini Gambarkan 'Bencana Timbal Balik' yang akan Terjadi: Bisa Jadi Perang Dunia 3"
Komentar