Kedekatannya dengan ulama, membuat jalan hidupnya berubah drastis. Kesaktiannya dulu, diempaskan habis.
Ia kemudian mendalami penyembuhan ruqyah, totok dan hipnoterapi ASWAJA yang tergabung dalam Jamiiyyah Ruqyah Aswaja (JRA), Singaraja Buleleng Bali dan Keluarga Besar Ruqyah Aswaja (KBRA). Di JRA bahkan, memiliki peran sentral.
"Saya jalani dengan ikhlas untuk taqorrub ilallah dan untuk mengabdi di jalan kebaikan. Semoga menjadi penebus kesalahan kesalahan saya terdahulu. Saya niati berkhidmad dan menolong sesama, bukan untuk mencari hidup. Perkara rejeki, urusan Allah. Saya bahagia menerima ajaran islam, itu sudah cukup," ujarnya sembari bercerita pernah dibisyarohi amplop berisi segepok uang mainan ini.
Ditanya mengapa berani menceritakan sisi kelam hidupnya? Dan apakah istrinya mengetahui?
Dengan tegas ia menjawab, bahwa niatnya hanya untuk mengajak orang menjadi baik. Apapun agamanya.
"Istri saya menerima saya apa adanya. Sisi gelap ini adalah takdir saya yang digariskan. Hanya sedikit yang saya harapkan, kelak kisah ini semoga menjadi inspiring story bagi siapapun dan menjadi wasilah dakwah dari saya yang pernah berkelindan dengan lumpur dosa ini," pungkasnya.
Sayup sayup, adzan maghrib menyapa telinga. Di ufuk barat, matahari luruh di peraduan, enggan menampakkan garangnya.
Asap rokok Khoiruddin menyembur di embusan terakhir. Seolah penanda bagi kami untuk beranjak. Langkah ringan kami berayun menuju musala di sebelah Pura Segara. Dalam Bahagia. (Kangcoy Malee Sareeh)
Artikel ini telah tayang di Tribunjatim.com dengan judul "Kisah 'Hijrah' I Gede Swadaya, Preman Sakti di Kuta, Hidayah 'Dengar Adzan', Jadi Peruqyah: Ikhlas"
(*)