Namun tegas ia katakan, ia memang sedang mempelajari islam sebelum mengenal Ruhaimah dan berniat menjadi mualaf. Bukan karena wanita, kemudian berislam.
“Ayah istri saya mengatakan, kalau anak saya mau sama penjahat, bajingan atau apalah, saya bisa apa? Kalau anak saya bahagia? Saya bisa apa? Apalagi bisa membawa orang menuju kebaikan. Itu sudah jalan Allah. Begitu ayahnya menyabdakan,” ujarnya.
Ia kemudian melakoni khitan, berislam lalu menikahi pujaan hatinya. Jejak hidupnya kemudian lebih dekat dengan ulama dan kyai kyai NU.
“Saya menangis dianggap santri oleh Ra Zaim (KHR Ahmad Azaim Ibrahimy, pengasuh pesantren Salafiyah Syafiiyyah Sukareja, Situbondo, yang juga cucu KHR As’ad Syamsul Arifin). Bayangkan, saya ini bejat dan banyak tatonya, dianggap santri dan dirangkul. Ya Allah ya Raaabb, bahagia rasanya,” ujarnya.
Kemudian hari, putra tunggalnya, Muhammad Idris dipondokkan di pesantren tersebut dan dikenal memiliki prestasi bahkan hingga level nasional, dalam bidang MTQ dan Kaligrafi. Bahkan dikabarkan mendapat beasiswa ke luar negeri.
“Ah, yang itu jangan diungkap dulu. Biarkan waktu yang menjawab,” elaknya.
Menjadi Praktisi Ruqyah
Kedekatannya dengan ulama, membuat jalan hidupnya berubah drastis. Kesaktiannya dulu, diempaskan habis. Ia kemudian mendalami penyembuhan ruqyah, totok dan hipnoterapi ASWAJA yang tergabung dalam Jamiiyyah Ruqyah Aswaja (JRA), Singaraja Buleleng Bali dan Keluarga Besar Ruqyah Aswaja (KBRA). Di JRA bahkan, memiliki peran sentral.
“Saya jalani dengan ikhlas untuk taqorrub ilallah dan untuk mengabdi di jalan kebaikan. Semoga menjadi penebus kesalahan kesalahan saya terdahulu. Saya niati berkhidmad dan menolong sesama, bukan untuk mencari hidup. Perkara rejeki, urusan Allah. Saya bahagia menerima ajaran islam, itu sudah cukup,” ujarnya sembari bercerita pernah dibisyarohi amplop berisi segepok uang mainan ini.
Ditanya mengapa berani menceritakan sisi kelam hidupnya? Dan apakah istrinya mengetahui?
Source | : | Tribunjatim.com |
Penulis | : | None |
Editor | : | Nicolaus |
Komentar