Mengutip Kompas.com, Chappy mengatakan sejujurnya pada masa awal jabatannya sebagai KSAU ia sudah memutuskan untuk tidak merencanakan pengadaan atau membeli pesawat baru.
Setelah memperhitungkan dengan dana yang terbatas, akan lebih baik jika digunakan untuk membelanjakan untuk perawatan pesawat yang ada, serta menghidupkan pesawat lainnya yang tengah "grounded" menanti suku cadang.
Sayangnya, dengan perkembangan waktu dan eskalasi tantangan yang dihadapi, antara lain embargo suku cadang pesawat oleh Amerika Serikat (karena isu HAM pada waktu itu), maka faktor kesulitan untuk menerbangkan pesawat pesawat terbang TNI AU, terutama unsur tempur terus meningkat dan menjadi sangat menghambat pelaksanaan tugas pokok Angkatan Udara.
Demikianlah perkembangan yang terjadi, semakin banyak pesawat terbang yang "grounded" kesulitan memperoleh spareparts.
Ditambah lagi dengan peristiwa Bawean atau penerbangan "tanpa izin" di atas perairan Kepulauan Bawean oleh US Navy, telah menyebabkan pemerintah memutuskan untuk membeli pesawat terbang dari Rusia.
Tidak mudah juga untuk sampai pada keputusan itu, karena menghadapi berbagai macam kendala terutama ketersediaan dana yang terbatas.
Dengan susah payah, maka diputuskanlah untuk tetap membeli Sukhoi dari Rusia walau dalam jumlah sangat terbatas, yang dirancang dengan mekanisme bertahap untuk pengadaan hingga mencapai satu skadron pesawat Sukhoi.
Keputusan yang sulit yang harus diambil, pesawat terbang tempur Indonesia ketika itu tidak bisa terbang karena embargo suku cadang Amerika Serikat.
Itupun pelaksanaan dari proses pengadaannya dilakukan dengan program “imbal-beli” hasil bumi Indonesia yang akan dikoordinasikan antara Menteri Perindustrian dan perdagangan dengan melibatkan juga pihak Bulog.
Keputusan berat yang harus diambil yaitu proses pembelian satu skadron pesawat Sukhoi dilakukan secara bertahap sesuai ketersediaan dana yang dapat disiapkan.