Jokowi Dalam bukunya, Ben menyebutkan "setelah mengamati dari dekat, terlihat bahwa semakin lama Jokowi berada di istana [sebagai presiden], maka semakin pudar pula janji-janjinya."
Dikatakan, begitu memasuki periode kedua, sosok yang sebelumnya menawarkan diri bukan bagian dari elit politik, telah berubah menjadi elit yang membangun dinasti politiknya sendiri.
"Sosok yang pernah dipuja karena reputasinya yang bersih, malah telah memperlemah lembaga pemberantasan korupsi, memicu aksi demonstrasi mahasiswa dan pelajar," tulis Ben.
"Kelemahan kepemimpinannya terungkap oleh krisis Covid-19. Pemerintahannya menunjukkan jejak-jejak buruk: tidak menghargai pendapat pakar kesehatan, tidak mempercayai gerakan masyarakat sipil, dan gagal membangun strategi terpadu," katanya.
Meski demikian, Ben mengatakan sosok Jokowi masih tetap populer di tengah pandemi dengan nada kritik kepadanya pun terdengar "berbeda".
Strategi politik Jokowi sangat sederhana, yaitu mendengarkan apa yang dikehendaki rakyat dan mencoba mewujudkannya, seperti yang terlihat "efektif" saat ia menjadi Wali Kota Solo.
"Tapi ketika memerintah sebuah negara berpenduduk begitu banyak, ribuan pulau, beragam agama dan suku, serta 550 walikota dan gubernur terpilih, jadi 550 Jokowi lainnya yang ingin menjalankan kepemimpinannya masing-masing, maka politik menjadi semakin kompleks," jelasnya.
"Selama enam tahun berada di istana, dia belum bisa beranjak ke level strategis. Dia lebih sebagai seorang walikota di istana presiden," kata Ben Bland.
Ben mengatakan masih ada harapan untuk melihat kepemimpinannya berlanjut di Indonesia hingga 2024 mendatang.
"Tapi, kita perlu mengakui adanya kekecewaan terhadap Jokowi dari para pendukungnya sendiri," ujar Ben kepada ABC Indonesia.