Faktanya, hal ini tunjukkan dinamika baru dalam dunia militan, yang awalnya dianggap hanya untuk para pria semata.
Terlebih di Asia Tenggara, yang mana banyak negaranya masih menganut paham patriarki, wanita memerankan peran pendukung sebagai ibu atau istri dan 'bekerja di balik layar' saja.
Jika dalam dunia militan, wanita tidak akan maju ke dalam medan perang dan jadi sosok teroris yang terlihat.
Mereka akan menjadi bagian dari kelompok penyebar propaganda, perekrut, pemberi dana dan penyedia bahan logistik serta simpatisan.
Bisa dilakukan dengan para wanita menyelenggarakan pengajian yang awalnya netral tapi kemudian mulai mengarahkan ke garis kiri dan menyebarkan paham radikalisme.
Namun terjadi pergeseran peran beberapa tahun ini yang justru lambat disadari oleh banyak pihak.
Para wanita radikal di Asean telah mengambil peran ikut bertempur sebagai penyerang atau pelaku bom bunuh diri.
Hal ini dapat dilacak pada tahun 2016 lalu saat warga Indonesia bernama Dian Yulia Nova bersama suaminya berusaha meledakkan diri mereka menggunakan bom 'magic com' di luar Istana Negara, Jakarta.
Selanjutnya serangan bom di Surabaya Mei 2018 menjadi serangan pertama yang libatkan militan wanita di Asia Tenggara.
Mengenang kejadian tersebut, sayangnya serangan tersebut adalah bom bunuh diri yang sukses pertama kali dilaksanakan oleh pelaku radikal wanita.