"Ini jadi pendekatannya adalah pendekatan kekuasaan. Mohon diperhatikan. Ini pendekatan kekuasaan yang digunakan dalam proses persidangan. Hukum memastikan, KUHAP memastikan persidangan yang adil. SKB bukan hukum, masih ada cara untuk menjamin protokol kesehatan, hakim melakukan tindakan pelanggaran," kata advokat jebolan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) tahun 1991 itu.
Sugeng mengatakan pihaknya tegas menolak persidangan online dan semua argumentasi sudah disampaikan dalam sidang.
"Argumentasi sosiologis, hukum, sudah lengkap," kata Sugeng
"Argumentasi logis yang disampaikan dalam sidang tadi yakni soal protokol Covid-19 yang harusnya menjadi tanggungjawab negara untuk kemudian menetapkan protokol Covid yang ketat untuk persidangan offline. Supaya keadilan itu tidak tercederai, dengan menetapkan protokol ketat Covid-19. Bukan menghilangkan keseimbangan," ujar Sugeng.
Saat mengikuti sidang tadi, Sugeng menilai bahwa persidangan online memang tidak efektif karena kesulitan memeriksa dokumen.
Ini terbukti saat hakim kesulitan melihat dokumen yang dibacakan.
"Kami tadi sudah cek, hakim melihat dokumen saja tidak kelihatan, bagaimana kami memeriksa dokumen, atau keterangan saksi secara langsung, kadang putus-putus. Ini keadilan dan keseimbangan. Kalau negara menetapkan sebagai proses ini harus diproses hukum, kami taati. tapi sesuatu yang mencederai, kami menolak," ucap Sugeng.
Selanjutnya, tim penasehat hukum tetap berharap agar persidangan Jerinx bisa dilakukan secara offline.
"Kami akan melihat dan mengevaluasi persidangan ini, apa upaya kami untuk merespons situasi yang terjadi hari ini," kata Sugeng.
Dakwaan Jerinx hanya 5 halaman
Dalam surat dakwaan yang berjumlah lima halaman itu, tim jaksa dikoordinir oleh Jaksa Otong Hendra Rahayu mendakwa Jerinx dengan dakwaan alternatif.