Sebuah dokumen intelijen Amerika Serikat yang baru saja dilakukan deklasifikasi mengungkap bahwa justru pihak Amerika Serikat yang menekan Jenderal Wiranto untuk menghentikan kekerasan pasca referendum dan memungkinkan masuknya pasukan penjaga perdamaian Interfet (International Force for East Timor) atau pasukan perdamaian internasional untuk Timor Timur.
Dokumen yang diunggah oleh ABC ini mengklaim bahwa AS, bukan Australia yang memaksa Indonesia menerima Interfet setelah 78,5 persen rakyat di sana memilih opsi merdeka.
Dokumen tersebut juga mengindikasikan bahwa Australia sama sekali tidak mendukung atau merencanakan misi penjaga perdamaian sampai menit-menit terakhir.
Kendati demikian, bertahun-tahun setelah referendum, PM Howard selalu menyatakan 'pembebasan' Timor Leste adalah salah satu pencapaian paling membanggakan dirinya sebagai perdana menteri.
Profesor Clinton Fernandes dari University of NSW pada tahun 1999 yang bekerja sebagai analis intelijen untuk Timor Timur di Australian Theatre Joint Intelligence Centre (ASTJIC) Sydney berkomentar terkait sikap Australia.
Menurut Clinton Fernandes, sikap Australia saat itu dapat diartikan sebagai 'memberikan perlindungan diplomatik untuk kegiatan militer Indonesia'.
"Howard dan (Menlu Alexander) Downer berusaha keras untuk melindungi TNI," kata Prof. Clinton Fernandes.
"Kabel diplomatik AS ini mengkonfirmasi bahwa kebijakan Pemerintahan Howard adalah menjaga Timtim tetap jadi bagian Indonesia dan pada akhirnya terpaksa mengubah sikap," katanya.
Kabel diplomatik tertanggal 9 September 1999 dari Kedutaan AS di Canberra menceritakan pertemuan pribadi selama 40 menit antara Laksamana Dennis Blair, saat itu Komandan Pasukan Amerika di Pasifik dengan Jenderal Wiranto.