Peneliti Pusat Studi Gempa Nasional, Rahma Hanifa, yang turut dalam kajian ini, diwawancara pada Jumat (18/9/2020), mengatakan, periode ulang 400 tahun ini berdasarkan perhitungan Emile A. Okal di Geophysical Journal International (2012) dan kajian Ron Harris di Society of Exploration Geophysicist (2019).
Berikutnya, peneliti mengukur potensi ketinggian tsunami di sepanjang pantai selatan Jawa jika gempa itu terjadi dengan tiga skenario, yaitu hanya segmen Jawa Barat yang lepas (M 8,9), segmen Jawa Tengah dan Jawa Timur saja yang lepas, dan segmen Jawa bagian barat dan timur lepas bersamaan.
Skenario terburuk, yaitu jika segmen Jawa Barat hingga Jawa Timur runtuh bersaman, dengan asumsi periode ulang 400 tahun, dapat menghasilkan tsunami yang sangat besar dengan ketinggian maksimum 20,2 meter di dekat pulau-pulau kecil di sebelah selatan Banten.
Sementara tinggi tsunami rata-rata di sepanjang pantai selatan Jawa mencapai 4,5 meter.
Ketinggian tsunami bahkan bisa lebih besar lagi jika gempa memicu longsor bawah laut, seperti yang terjadi dalam gempa gempa bumi M 7,5 di Palu pada 2018.
Rahma mengatakan, kajian ini ingin memberikan pesan pentingnya penguatan mitigasi bencana di selatan Jawa, meliputi penguatan di semua lini, termasuk sistem peringatan dini tsunami (InaTEWS), tata ruang, hingga komunitas.
Mitigasi menjadi sangat penting karena di selatan Jawa telah tumbuh banyak bangkitan ekonomi baru, di antaranya Bandara Internasional Yogyakarta.
Perulangan tsunami
Peneliti paleotsunami Pusat Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Purna S Putra, yang tidak terlibat dalam publikasi ini mengatakan, berdasarkan jejak deposit tsunami tua yang ditemukan timnya, tsunami besar yang dipicu gempa di atas M 9 sudah berulang kali terjadi di selatan Jawa.
”Jejak yang kami temukan tsunami itu terjadi 400-500 tahun lalu, 1.000 tahun lalu, 1.800 tahun lalu, dan 3.000 tahun lalu,” ujarnya.