Sementara banyak yang terimbas krisis, tidak demikian dengan Dase A.S. (42), perajin cendera' mata wayang golek, di Bogor, Jawa Barat. Usaha yang mulai digeluti sejak ta-hun 1976 ini justru tidak terkena dampak buruk krismon.
"Alhamdulillah, saya tidak kena dampak (buruknya). Sebelumnya usaha saya stabil, sekarang ketika dolar menguat keuntungan saya meningkat 60%," tutur perajin golek yang waktu itu bekerja dengan sebelas pekerja ini.
"Kalau dulu satu.wayang golek nilainya Rp90 ribu atau sekitar AS $ 30, sekarang dengan kurs Rp 8.000 per AS $, nilai rupiah yang diterima mencapai Rp240 ribu," ungkapnya.
Wajar kalau Dase memasang patokan harga dalam dolar, sebab pembelinya turis asing.
"Bule maunya sih rupiah. Mereka sering bertanya, 'Mengapa harus dolar?' Saya pun menjawab, tidak tahu," ujar Dase.
Bukan tanpa alasan kalau Dase memasang harga dalam dolar AS. Dengan patokan dolar, angkanya seolah-olah kecil.
"Kalau sudah jadi, mau tidak mau 'kan harus dibayar. Kadang mereka bengong juga. Kok nilai rupiahnya jadi besar amat, ha ... ha ... ha...," katanya disertai derai tawa.
Selain dolar AS, Dase juga menerima mata uang asing lain, macam gulden Belanda, franc Prancis, atau mark Jerman.
"Dulu kalau ditawarkan dalam rupiah, mereka kaget, Two hundred thousand? Big money'. Lantas, saya bilang, You jangan melihat rupiahnya. You look dollar, only twenty dollars. Akhirnya mereka mengerti juga, 'OK, 1 pay you'. Karena cinta rupiah, ya, tinggal menukar lagi ke rupiah."
Kebanyakan pembelinya turis dari Jerman, Belanda, Prancis, Swis, AS, Kanada, dan Australia. Sebagian besar turis Belanda. Bahkan, ada turis Belanda yang menjadi pelanggan.
Di negeri kincir sana, ia memang menjual benda-benda seni. Dalam setahun ia datang tiga kali dan memesan 225 unit wayang.