Pemerintah mengatakan, perlindungan pekerja yang terkena PHK dengan manfaat JKP berupa cash benefit, vocational training, dan job placement access. Pekerja yang mendapat JKP tetap akan mendapatkan jaminan sosial lainnya yang berupa jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP), jaminan kematian (Jkm), dan jaminan kesehatan nasional (JKN).
Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas mengatakan, pemerintah dan DPR menyepakati konsepsi terkait beberapa hal. Pertama, ketentuan mengenai sanksi akan kembali menggunakan pengaturan di UU eksisting (UU nomor 13 tahun 2003).
Kedua, dicabutnya upah minimum padat karya dari RUU Cipta Kerja.Pencabutan ini berdasarkan kesepakatan tripartit yang sebelumnya dilakukan.
Ketiga, upah minimum kabupaten/kota tidak dihilangkan. Keempat, pengaturan kluster ketenagakerjaan wajib mematuhi putusan mahkamah konstitusi (MK).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Anwar Sanusi mengatakan, kondisi ketenagakerjaan saat UU ketenagakerjaan disahkan pada 2003 berbeda dengan kondisi ketenagakerjaan saat ini berbeda. Terlebih saat ini tengah memasuki revolusi industri 4.0.
Anwar mengatakan, RUU cipta kerja ini memfokuskan kepada tiga kelompok. Yakni mereka yang akan bekerja, mereka yang tengah bekerja dan mereka yang terputus pekerjaannya karena PHK. Anwar mengatakan pihaknya juga akan melakukan transformasi balai latihan kerja (BLK) untuk meningkatkan kompetensi pekerja sesuai kebutuhan industri.
“Kami ingin BLK ini bukan hanya semacam katakanlah sebagai tempat berlatih tapi dari sisi dukungan tidak kompatibel lagi dengan kebutuhan, ini yang akan kita lakukan,” ujar Anwar.
Sementaara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menegaskan, bahwa pihaknya bersama KSPSI Andi Gani Nena Wea dan 32 federasi yang lain meminta agar klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja. Selain itu, serikat pekerja juga meminta tidak ada pasal-pasal di dalam UU 13/2003 yang diubah atau dikurangi.
Said mengatakan, pihaknya siap diajak untuk membahas poin – poin yang belum ada dalam UU nomor 13 tahun 2003. Seperti penguatan fungsi pengawasan perburuhan, peningkatan produktifitas melalui pelatihan dan pendidikan, pengaturan regulasi pekerja industri startup, pekerja paruh waktu, pekerja tenaga ahli, dan sebagainya dalam rangka meningkatkan investasi dan menghadapi revolusi industri 4.0.
“Mari kita dialog untuk dimasukan dalam omnibus law tapi tidak boleh sedikitpun merubah apalagi mengurangi isi UU No 13 Tahun 2003," kata Said Iqbal.
Artikel ini telah tayang di Kontan dengan judul Ini tujuh poin perubahan UU Ketenagakerjaan dalam Omnibus Law.