Pesawat dengan daya jelajah hingga 14.000 kilometer itu dilaporkan terbang dari pangkalannnya di North Dakota dengan tujuan Qatar.
B-52 Stratofortress yang bisa membawa bom nuklir itu terbang dengan dikawal oleh jet tempur F-15 dan pesawat tanker udara KC-10 maupun KC-135.
Letnan Jenderal Greg Guillot, Komandan AU Ke-9 mengatakan, satuan mereka punya kemampuan bergerak cepat ke seluruh medan untuk merebut daerah maupun mengeksplorasi potensi serangan.
Pesawat Pembom
Jenderal Guillot menerangkan, misi ini tak saja membantu kru B-52 dalam memahami medan udara di kawasan sasaran, dan melakukan fungsi kontrol dan komando selama di sana.
"Mereka juga berintegrasi dengan aset baik milik AS maupun sekutu di teater, sehingga meningkatkan kesiapan pasukan gabungan," paparnya.
Pemerintah Amerika Serikat menyiratkan bahwa keberadaan benteng udara mereka tergantung seberapa genting situasi yang terjadi di Timur Tengah.
Sebelumnya, Pentagon pernah mengirimkan pesawat yang bisa membawa 30 ton bom itu setelah membunuh komandan top Iran, Qasem Soleimani, pada Januari.
Kemudian di Mei 2019, mereka juga memberangkatkan pesawat itu setelah Teheran mengeklaim menembak jatuh drone AS, karena berada di wilayah udara mereka.
Relasi dua negara mulai memburuk setelah Trump secara sepihak mengeluarkan "Negeri Uncle Sam" dari perjanjian nuklir 2015, di 2018. Saat itu, Trump berdalih kesepakatan era Barack Obama tersebut tidak mencakup aktivitas Iran di Timur Tengah, seperti mendanai Houthi di Yaman.