Delegasi IMF mengunjungi Indonesia pada tahun 1962 dan mengusulkan bantuan keuangan dengan syarat kerjasama erat dengan IMF.
Situasi ekonomi Indonesia yang labil dimanfaatkan dengan kucuran dana pinjaman untuk membuat Indonesia mudah dikontrol.
Pada Maret 1963, AS memberikan pinjaman 17 juta dolar, dan2 bulan kemudian, pemerintah Indonesia mengumumkan serangkaian tindakan ekonomi baru, devaluasi rupiah, penghematan anggaran, penangguhan subsidi sesuai dengan kebijakan IMF.
Bulan berikutnya, anggota OECD bertemu untuk menyepakati kesepakatan mobilisasi dana.
AS mengusulkan untuk berkontribusi, bersama IMF dan Bank Dunia, hingga setengah dari perkiraan 400 juta dolar.
Pada bulan Agustus, di bawah dorongan AS, Indonesia menandatangani "pengaturan siaga", di mana ia menerima pinjaman 50 juta dolar.
Tapi semuanya berubah pada September 1963 ketika Inggris memproklamasikan Federasi Malaysia tanpa konsultasi.
Soekarno memandang proklamasi itu sebagai manuver yang membuat negaranya tidak stabil dan bereaksi dengan menasionalisasi perusahaan-perusahaan Inggris.
Ini berarti pembatalan kesepakatan yang dicapai dengan IMF.
Namun demikian, PBB menyetujui pembentukan Malaysia, sementara Soekarno yang gagal memenangkan kasusnya, membanting pintu PBB pada tahun 1965.
Situasi ekonomi sangat memprihatinkan. Banyak pinjaman yang diterima dari Barat dan Uni Soviet disia-siakan untuk barang-barang konsumen, proyek dan senjata bergengsi.