Artikel di Naval and Merchant Ships mengatakan "di kasus konflik Nagorno-Karabakh, perisai yang digunakan untuk menangkis drone tidak digunakan secara efektif.
"Meskipun drone kedua belah pihak dihantam dengan hebat oleh pihak musuh, tapi bukti pentingnya drone senjata di perang sudah terpampang jelas dan tidak ada dari kedua belah pihak yang bisa mengalahkan drone."
Artikel dilanjutkan dengan "Militer kami memiliki jumlah besar drone dengan berbagai tipe dan juga menghadapi ancaman drone musuh…dibandingkan dengan drone yang kami lihat di konflik Nagorno-Karabakh, drone yang mengancam kami lebih canggih, sulit dideteksi dan sulit mempertahankan diri darinya."
Kemudian dikatakan dalam artikel tersebut jika pasukan tentara China seharusnya meningkatkan kesadaran mereka atas ancaman dari drone dan tentara China harus sudah memasukkan kesiapan itu dalam latihan perang mereka.
"Bagi sebagian unit akar-rumput di militer China, upaya menaklukkan drone adalah pelajaran baru," seperti dituliskan dalam artikel tersebut, serta ditambahi jika unit militer perlu meraih pemahaman lebih mengenai karakteristik berbagai drone.
Mulai dari drone penyerang sampai drone siluman, semua harus dipelajari, dan dikembangkan strategi untuk melawannya.
Disarankan juga bagi tentara China untuk membangun jaringan pendeteksi multilapisan dengan radar anti-drone, radar pembuta, stasiun deteksi radio dan perlengkapan infra merah lainnya.
Gunanya adalah untuk 'terus-terusan memonitor masuknya drone di berbagai tempat dalam jangkauan yang luas".
Disarankan juga selain cara deteksi, bisa menggunakan taktik seperti mengirim gangguan elektronik dengan senjata pertahanan darat anti-pesawat LD2000 serta menyebar obyek palsu untuk mengaburkan fokus drone tersebut.
China sendiri merupakan pengguna aktif drone dalam dunia militer dan terus mengembangkan senjata itu dengan variasi baru serta kemampuan yang terus dikembangkan meliputi 'kemampuan siluman', kecepatan, manuver ketinggian, enduransi serta otomatisasi.