Para komandan militer Indonesia secara rutin menyangkal adanya hubungan dengan kelompok tersebut.
Namun, menurut dokumen resmi militer yang diperoleh BBC pada tahun 1998, paramiliter tersebut berada langsung di bawah struktur komando militer setempat.
Bukti bahwa militer berada di belakang milisi tersebut kemudian baru lebih jelas pada Februari 2000, ketika Head menyambangi markas besar garnisun Indonesia di Dili.
Saat itu, Head duduk menunggu wawancara dengan Kolonel Tono Suratman, komandan setempat.
Kebetulan di sebelahnya ada sekelompok orang Timor, salah satu bagian telinganya hilang.
Dia menjelaskan bahwa mereka adalah bagian dari Garda Paksi, kelompok paramiliter pro-Indonesia, dan mereka datang untuk mendapatkan lebih banyak senjata dari tentara untuk memerangi gerakan pro-kemerdekaan yang semakin tegas.
Mereka pun disambut seperti teman oleh tentara Indonesia.
Selanjutnya, beberapa hari kemudian Head bertemu Cancio Cavalhao dan Eurico Gutteres -sedikit diketahui saat itu, tetapi kemudian menjadi dua pemimpin milisi paling terkenal.
Dikatakan bahwa Eurico bersikap malu, tetapi Cancio cukup eksplisit tentang apa yang mereka rencanakan, dan siapa yang membantu mereka.
Selain mereka, ada seorang mantan pegawai negeri di Kementerian Kehakiman Indonesia, saat itu baru saja membentuk kelompok milisinya sendiri, Mahidi, singkatan dari Live or Die for Integration with Indonesia.