Gridhot.ID - Dunia pernah merasakan perang mematikan yang tak akan pernah mau diulangi lagi.
Perang Dunia terkahir yang kedua jadi salah satu yang terparah.
Perang Pasifik adalah salah satu perang teater di Perang Dunia II yang terjadi di wilayah Pasifik.
Perang Dunia II sangat luas dan melibatkan banyak negara, sehingga ada teater Eropa dan teater Pasifik.
Di Eropa, rezim yang ingin berkuasa adalah blok Axis, sementara di Pasifik, kekaisaran Jepang berniat untuk menduduki seluruh Asia-Pasifik kala itu.
Akhirnya Sekutu merencanakan untuk menggempur dua kekuatan tersebut di dua tempat.
Sehingga pasukan Sekutu yang dikirim ke Pasifik harus berhadapan dengan Jepang kala itu.
Perang Pasifik sendiri menghasilkan pertempuran di berbagai tempat.
Pertempuran di Tarawa, Saipan, Iwo Jima dan Okinawa menjadi beberapa pertempuran terbesar di Perang Pasifik.
Namun rupanya ada operasi Sekutu yang berlangsung di pulau Papua, yang sampai kini malah dilupakan orang-orang.
Padahal, operasi Sekutu di Papua Nugini penting bagi Angkatan Laut AS untuk sukses menyeberangi Pasifik Tengah.
Bahkan, AS bisa berhasil membebaskan Filipina dari kependudukan Jepang lewat operasi ini.
Mengulik brosur yang dibuat untuk US Army Center of Military History oleh Edward J. Drea, berikut segelintir kisah mengenai operasi Pulau Papua.
Papua merupakan pulau terbesar kedua di dunia.
Baca Juga: Bikin Penasaran Deddy Corbuzier Soal Backingan, Nikita Mirzani: Ada Dong!
Garis pantai utaranya memanjang hampir 1600 mil (2575 km) dari 12 derajat Lintang Selatan menuju hampir tepat garis khatulistiwa.
Rangkaian pegunungan di seluruh pulau dari timur Papua Nugini sampai Teluk Cendrawasih (saat itu masih bernama Teluk Geelvink) di Barat membuat perjalanan di Papua sulit dilakukan.
Sementara di Port Moresby, Papua Nugini, angin gunung dari Januari sampai April basah tapi selebihnya kering.
Veteran perang menyebut di sana sering hujan, hanya 3 bulan dalam setahun mereka mengalami musim kemarau.
Operasi Papua termasuk operasi yang sulit dilaksanakan, banyak penyakit tropis menyebar di sana waktu itu.
Malaria menjadi penyakit yang sangat umum, tapi demam berdarah, disentri, tifus dan penyakit tropis lain menunggu para pasukan Sekutu yang memasuki wilayah tidak ramah huni itu.
Pemukiman pesisir kecil yang tersebar di garis pantai mengalami serangan malaria, sedangkan di pedalaman manusia dan peralatannya harus siap menghadapi hutan tropis yang siap menelan mereka kapan saja.
Medan yang tidak ramah itu membuat seorang komandan harus memisahkan penyebaran formasi besar.
Di pantai utara rawa-rawa besar memperlambat pergerakan darat.
Sementara itu hujan muson setinggi delapan atau sepuluh inci mengubah aliran air menjadi sungai yang tidak bisa dilewati.
Jalan hanya ada jalan setapak, tidak ada rel kereta api, dan jalur suplai hanyalah jalur asli selebar satu meter, yang bisa dengan mudah berubah menjadi genangan lumpur sedalam betis.
Tentara cepat kelelahan, dan musuh bisa bersembunyi sangat baik.
Pasukan infanteri yang membawa senjata, peralatan dan amunisi terhuyung-huyung di suhu wilayah tropis yang panas dan lembab.
Itulah medan operasi Papua, di mana pasukan Sekutu menghadapi pasukan Jepang yang lihai dan gigih di medan pertempuran penuh penyakit.
Sekutu dan Jepang berhadapan di pulau Papua pada Januari 1943 layaknya dua kelas berat yang babak belur.
Putaran pertama dimenangkan Sekutu dan Australia yang telah mengusir Jepang dari Papua Nugini.
Selanjutnya Komandan Wilayah Pasifik Barat Daya (SWPA) Jenderal Douglas MacArthur akhirnya memiliki landasan udara dan pangkalan pementasan di Buna, Papua Nugini.
13 ribu pasukan Jepang tewas, sedangkan korban Sekutu mencapai 8500 tentara tewas, 5698 merupakan tentara Australia, sementara kasus malaria dilaporkan mencapai 27 ribu kasus.
Kekurangan pasokan medis menjadi kendala saat itu, dan operasi itu mengorbankan Divisi Infantri ke-7 dan ke-32 Australia, serta membebani Divisi Infantri Australia ke-5 dan Divisi Infantri AS ke-41.
Meski begitu, Pasukan darat Australia menjadi garis pertahanan melawan Jepang dan sudah siap untuk ronde kedua.
Tokyo kemudian berupaya memblokir serangan balasan Sekutu di Papua Nugini dan di Solomon dengan cara mengirim ribuan bantuan ke benteng di Rabaul, Britania Baru, sebuah pulau terbesar di Papua Nugini.
Pada 9 November 1943, Tentara Area Kedelapan dengan pemimpin komando Letjen. Hitoshi Imamura akhirnya dibuka di Rabaul, dan Tentara Kedelapan Belas yang dimpin oleh Letjend Hatazo Adachi diorganisir pada hari yang sama, berada di bawah Tentara Area Kedelapan.
Adachi menjadi pimpinan komando operasi Jepang di Papua, dan meskipun kalah dalam menjaga Buna, mereka masih memegang kekuatan udara, laut dan darat di Pasifik Barat Daya, Jepang berusaha menyerang lagi untuk menduduki Port Moresby.
Batalion pembangun Jepang telah mengubah lapangan udara dan pelabuhan di Lae, Timur Laut Papua Nugini menjadi pangkalan udara besar dan titik berhenti di Teluk Huon.
Dengan itu, Jepang sudah menguasai titik paling penting kala itu.
Sampai di tahun 1943, Jepang berhasil menguasai Wau, cara mudah untuk menguasai Port Moresby, kemudian Jepang mendapat bantuan dari Divisi ke-51 yang dikirim dari Indonesia dan ditempatkan di bawah Tentara Area Kedelapan.
Operasi itu masih berlangsung sampai 1944, dan pasukan MacArthur sudah sangat banyak saat itu, membuat posisi Sekutu kian superior meskipun perlawanan dari Jepang sama kuatnya.
Kekalahan harus dihadapi Jepang, karena mereka kehilangan kekuatan pasukan, kehilangan pesawat dan kapal-kapal mereka.
Artikel ini telah tayang di Intisari dengan judul Siapa Sangka, Pulau Papua Jadi Titik Penentu Kemenangan Angkatan Laut AS Mengalahkan Kependudukan Jepang di Perang Dunia II, Australia pun Terlibat.
(*)