Laporan Wartawan Gridhot.ID, Desy Kurniasari
GridHot.ID - Beberapa waktu lalu dokter Tirta mengunggah sebuah akun yang memperjualbelikan surat keterangan hasil tes covid-19.
Unggahan dokter Tirta itu pun menjadi sorotan publik.
Pasalnya, influencer sekaligus dokter itu mengungkapkan bahwa akun tersebut memperjualbelikan surat keterangan hasil tes polymerase chain reaction (PCR) Covid-19 palsu.
Melansir Kompas.com, Polda Metro Jaya menangkap tiga orang pria yang melakukan pemalsuan hasil swab PCR dengan mengatasnamakan PT BF untuk ditawarkan kepada masyarakat.
Ketiga tersangka berinisial MAF, EAD, dan MIS ditangkap di lokasi berbeda, yakni di Bandung, Bekasi, dan Bali pada 1 Januari 2021.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan, penangkapan ketiga tersangka itu bermula adanya laporan dari PT BF yang merasa dirugikan dengan pembuatan surat swab PCR tersebut.
PT BF melaporkan ke polisi setelah mengetahui adanya unggahan dari dr Tirta soal tangkapan gambar penawaran surat swab PCR palsu.
Adapun tangkapan gambar yang diunggah dr Tirta itu merupakan unggahan penawaran salah satu pelaku melalui media sosialnya.
"Ini yang postingan bersangkutan, baru satu jam terbaca oleh dokter Tirta. Kemudian baru ketauan oleh PT BF dan dilaporkan ke Polda Metro Jaya," ujar Yusri di Polda Metro Jaya, Kamis (7/1/2021).
Yusri menjelaskan, ada dua konsumen yang tertarik pada penawaran surat swab PCR palsu yang dibuat tersangka.
Dua konsumen tersebut itu bahkan telah menbayar senilai Rp 650.000 melalui salah satu rekening dari tiga tersangka.
"Tersangka mematok Rp 650.000 karena kita ketahui di Bandara (Soekarno-Hatta) sekitar Rp 900.000. Jadi Rp 650.000 kali dua. Konsumen sudah membayar pas ramai, dia melarikan diri dan surat tidak diambil," kata Yusri.
Dilansir dari Kompas.com, dalam praktiknya, pelaku hanya membutuhkan KTP konsumen. Lalu, mereka memasukkan nama konsumen dalam dokumen yang akan dipalsukan.
Setelah beres, konsumen mendapat surat hasil swab PCR palsu tersebut dalam bentuk pdf.
Mengutip PMJNews.com, Polda Metro Jaya berhasil mengamankan tiga pelaku pemalsuan hasil swab test (tes usap) PCR yang sempat viral di media sosial (medsos). Salah seorang pelaku MFA diketahui merupakan mahasiswa kedokteran.
"Jadi ketiganya pelajar atau mahasiswa. MFA merupakan mahasiswa kedokteran yang masih berpendidikan di salah satu Universitas," ungkap Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus kepada wartawan, di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (7/1/2021).
Selain MFA, polisi juga membekuk dua tersangka lain yakni EAD dan MAIS. Ketiganya pertama kali mendapatkan tawaran jasa surat swab PCR tanpa tes melalui rekannya di Bali.
"MAIS sekitar tanggal 23 Desember 2020 itu akan berangkat ke Bali bersama EAD dan MFA. Namun ada ketentuan hasil swab PCR minimal H-2,” ujar Yusri.
“Kemudian dia kontak temannya di Bali, dapatlah gambaran dari temannya di Bali (masih dilakukan pengejaran). Dia bilang kalau mau berangkat, saya akan kirim surat pdf tinggal kamu ubah nama saja," sambungnya.
Usai mendapatkan file pdf tersebut, ketiganya kemudian mengedit sekaligus memasukkan identitas. Selanjutnya, ketiganya berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta melalui terminal 2 dan ternyata lolos.
"Yang bersangkutan mencoba masuk ke bandara dan lolos dan bisa berangkat ke Bali," sambungnya.
Dari sanalah, ketiganya menangkap peluang bisnis. Tersangka EAD pun mempromosikan jasa swab PCR palsu itu di akun media sosial.
"Kemudian MAIS setiba di Bali melalui chat dengan EAD (tersangka kedua, red) untuk menawarkan bisnis pemalsuan swab PCR ini. Kemudian ditanggapi EAD. EAD juga mengajak MFA. EAD melakukan promosi di akun Instagramnya," sambungnya.
Dari promosi yang dilakukan, para tersangka mendapatkan dua pelanggan. Keduanya sudah melakukan transfer ke pelaku namun kabur karena mengetahui informasi itu viral.
"Ada dua pelanggan yang sudah mentransfer ke akun ini. Konsumennya sudah membayar ke EAD. Karena mengetahui informasi viral, pelanggan tersebut melarikan diri tanpa mengambil surat swab PCR Palsu," ujarnya menambahkan.
Dari kasus tersebut, ketiga tersangka bakal terancam pasal berlapis. Di antaranya, Pasal 32 jo Pasal 48 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Kemudian Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Dan atau Pasal 263 KUHPidana, dengan pidana penjara paling lama 6 (enam tahun). (*)