Ketika penerangan masih terbatas pada masa lampau, utamanya di desa-desa, para santri terbiasa belajar di malam hari dengan pencahayaan seadanya.
Meski penerangan kini telah mudah, kitab-kitab ini sebagian tetap diproduksi menggunakan kertas warna kuning mengikuti tradisi, walaupun ada juga yang telah dicetak pada kertas berwarna putih (HVS).
Sebab lainnya, adalah karena umur kertas yang telah kuno yang turut membuat kertas semakin lama akan menguning dan menjadi lebih gelap secara alami, juga disebutkan ketika dahulu lilin/lampu belum bercahaya putih dan masih kuning maka kertas berwarna putih atau kuning sama saja akan tetap terlihat kuning, sehingga ketika kertas kuning dahulu lebih ekonomis maka penggunaan kertas kuning dapat meringankan ongkos produksi secara massal.
Kini di era modern Kitab-kitab tersebut telah dialih berkaskan menjadi fail buku elektronik, misalnya chm atau pdf.
Ada juga software komputer dalam penggunaan kitab-kitab ini yaitu Maktabah Syamila (Shameela) yang juga mulai populer digunakan dikalangan para santri pondok pesantren modern.
Clifford Geertz seorang ahli antropologi dari Amerika Serikat dalam bukunya yang terkenal berjudul "Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa" (judul aslinya The Religion of Java) memuat sekelumit ceria tentang Kitab Kuning.
Ada pula buku karangan peneliti Belanda Martin van Bruinessen yang berjudul "Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat" yang membahas sejarah Kitab Kuning dan pendidikan Islam tradisional di Indonesia.
(*)