"Bukannya tak mau pindah, tapi kehidupan kami di sini. Toko ini napas ekonomi keluarga. Sementara uang penggantinya tak cukup buat membeli tanah dan membangun rumah. Per meter persegi tanah dan bangunan dihargai Rp 1,5 juta, sedangkan harga pasar Rp 3 juta-Rp 4 juta per meter persegi," ujar Samsul, warga Porong.
Amien Widodo, anggota Pusat Studi Kebumian, Bencana, dan Perubahan Iklim pada Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, yang juga mantan Ketua Tim Kajian Teknis dan Sosial Lumpur Lapindo, mengatakan, harus dilakukan evaluasi dari segala sisi terkait dengan 10 tahun semburan lumpur Lapindo. Dari segi teknis, misalnya, penanganan semburan dilakukan dengan mengalirkan luberan lumpur di darat ke Sungai Porong dan Selat Madura.
"Dampaknya pasti banyak dan kerusakan ekosistem jelas terjadi. Di darat, tidak ada satu rumput pun yang tumbuh di atas lumpur yang memadat selama 10 tahun," ucap Amien.
Dari segi geologis, terdapat penurunan permukaan tanah di sekitar pusat semburan. Itu tampak jika membandingkan tinggi permukaan tanggul titik 21 Desa Siring dengan tinggi kubah masjid di seberang jalan. Dulu tanggul berada di atas kubah, sekarang tanggul sejajar dengan genteng masjid.
Dari segi sosial, negara harus memulihkan hak-hak sosial masyarakat. Menempatkan warga korban dan masyarakat sekitar sebagai subyek bencana, dan bukan obyek. Negara harus memberdayakan mereka supaya kelak mampu mengenali ancaman di sekitarnya dan tangguh menghadapi bencana.
Penolakan keras warga terhadap rencana pengeboran sumur baru Lapindo di Desa Kedungbendo, Tanggulangin, pada Februari 2016 adalah cermin ketidakpekaan negara, terutama Pemkab Sidoarjo, terhadap permasalahan sosial warganya. Trauma semburan lumpur 10 tahun silam yang dialami warga dianggap selesai dengan bagi-bagi bahan pokok.
Amien menyayangkan sikap pemerintah yang tak menganggap semburan lumpur sebagai bencana karena berarti mengabaikan pentingnya mitigasi. Terlepas bencana alam atau industri, mitigasi penting untuk mencegah korban jiwa dan material serta merumuskan kebijakan yang akan menyelamatkan masa depan bangsa.
Sebagai gambaran, pakar statistik ITS, Krenayana Yahya, menghitung, sampai tahun lalu kerugian ekonomi semburan lumpur telah menembus angka Rp 60 triliun. Nilai itu setara dengan 46 tahun pendapatan asli daerah Kabupaten Sidoarjo sebesar Rp 1,3 triliun pada 2015.
Kabar terbaru, sebuah pulau terbentuk dari endapan lumpur hasil buangan ke Sungai Porong, Sidoarjo.
Disebut Pulau Lusi oleh warga setempat, daratan baru ini memiliki luas sekitar 93,4 Hektare.