Tidak ada tempat untuk kudeta militer.
SCMP menyebutkan di Twitter, penentang kudeta Myanmar mengatakan Indonesia harus mendukung transisi demokrasi Myanmar, yang dimulai sekitar satu dekade lalu setelah hampir 50 tahun pemerintahan militer langsung.
Baca Juga: Hilang Misterius, Uang Nasabah BRI Lenyap Tanpa Jejak, Pihak Bank Gandeng SSI untuk Usut Kasus
Dalam artikel SCMP disebutkan juga sejarah Indonesia yang pernah berada dalam situasi, di mana kekuatan militer mendominasidi bawah pemerintahan otoriter Orde Baru yang dipimpin oleh jenderal Suharto yang menjadi diktator, selama lebih dari tiga dekade.
SCMP menggambarkan kondisi Myanmar yang tak jauh bebeda dengan Indonesia era Orde Baru.
Angkatan bersenjata selama beberapa dekade telah menikmati kekuasaan yang mencakup semua di nusantara, termasuk memegang kursi parlemen dan posisi kabinet.
Pada awal periode Reformasi, akhirnya sipil dan militer terpecah menjadi dua lembaga yang berbeda, dan militer mundur dari urusan sipil.
Kementerian Luar Negeri RI membantah pemberitaan yang menyebut bahwa Indonesia mendukung rencana militer Myanmar untuk menyelenggarakan pemilihan umum baru, setelah kudeta terhadap pemerintahan sipil negara itu pada 1 Februari lalu.
“Saya membantah adanya plan of action (rencana aksi—red). Itu sama sekali bukanlah posisi Indonesia,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah merujuk pada rencana aksi pemilu baru yang diberitakan Reuters tengah didorong oleh Indonesia untuk disetujui oleh negara-negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).
Sebaliknya, Faizasyah menegaskan, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sedang berupaya melakukan konsultasi dan mengumpulkan pandangan dari negara-negara ASEAN, sebelum pelaksanaan pertemuan khusus para menlu ASEAN untuk membahas krisis politik di Myanmar.(*)