"Ini hampir selama 40 tahun, alat ini dapat menghasilkan uang, juga dapat menghidupi istri dan anak-anak. Sehingga saya selalu menyebutnya tuyul," ucapnya sambil tersenyum lebar pada beberapa orang di sekitarnya.
Kakek bertopi loreng ini mengisahkan, sebelum berprofesi sebagai jasa tensi darah keliling, ia merupakan seorang honorer penyuluh kesehatan di Kecamatan Sukarja, Sukabumi sekitar akhir tahun 1970.
Pertama menjadi penyuluh di bidang kesehatan, kakek lulusan Sekolah Lanjutan Tingkatan Atas (SLTA) ini dibayar sebesar Rp 15 ribu per bulan, setelah menginjak satu tahun upahnya sebagai honorer naik menjadi Rp 35 ribu per bulan.
"Saat itu gaji sebesar Rp 35 ribu, sedangkan utang ke warung untuk keperluan rumah tangga mencapi Rp 45 ribu.
Setelah hampir selama tiga tahun menjadi penyuluh, saya mencari pekerjaan lain," katanya.
Pada akhirnya sekitar tahun 1973-an, Rahmat diterima di perusahaan batu bara sebagai teknisi.
Namun tidak bertahan lama, hingga akhirnya ia memutuskan mencari pekerjaan lain ke kota lain.
Berbekal ilmu pendidikan kesehatan ketika sebagai honorer penyuluh kesehatan, ia memutuskan untuk berprofesi sebagai jasa tensi keling.
"Waktu itu ketika awal menjadi jasa tensi keling, setiap orang memberi upah Rp 1.00, dan dalam sehari bisa menghasilan sebesar Rp 80 ribu," katanya.