Setelah Belanda meninggalkan Indonesia, gedung tersebut akhirnya dijadikan Markas Besar Angkatan Laut, Jepang pada Perang Dunia ke II.
Setelah itu, pada tahun 1959 sampai 1960 gedung tersebut dijadikan kantor Wali kota Jakarta Pusat.
Tak sampai disitu saja, selanjutnya secara berturut-turut, gedung tersebut dijadikan kantor PAM, kantor dinas Urusan Perumahan Jakarta dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada jaman kepemimpinan Abdul Haris Nasution.
Setelah MPRS pindah ke daerah Senayan (sekarang Gedung MPR-DPR) gedung tersebut diwakafkan kepada anggkatan 66 yonif Yo Sudarso untuk digunakan sebagai tempat beribadah.
Meski demikian, perjalanan gedung NV De Bouwpleg menjadi Masjid Cut Meutia masih terus berlangsung.
Selama kurang lebih 17 tahun, gedung tersebut hanya dapat dijadikan tempat ibadah tanpa status Masjid.
Akhirnya padatahun 1987 dengan SK gubernur no. 5184/1987 tanggal 18 Agustus, gedung tersebut resmi menjadi masjid tingkat propinsi.
Masjid tersebut pun diberi nama Masjid Cut Meutia.
Nama tersebut diambil dari jalan yang berada di dekat gedung tersebut.
Selain itu, sejak tahun 1961, Masjid Cut Meutia berada dibawah pengawasan dinas museum dan sejarah lantaran resmi menjadi gedung yang dilindungi sebagai cagar budaya.
Arsitektur Masjid Cut Meutia