Diponegoro juga bangga dalam keahliannya menaklukkan hati wanita, seperti diceritakan Residen Manado Pietermaat (menjabat 1827-1831) jika “percakapan yang paling digemarinya adalah tentang perempuan-perempuan yang melihatnya sebagai seorang kekasih yang menawan.”
Peter Carey juga mengatakan ketika Diponegoro sakit malaria ketika 3 bulan akhir perang, ia masih mampu bermain-main dengan janda-dukun, Nyai Asmaratuna, yang merawatnya di Desa Sebodo di timur Bagelen.
Di Manado Pangeran Diponegoro juga pernah ingin menikahi perempuan setempat yaitu putri dari seorang warga Muslim terkemuka, Letnan Hasan Nur Latif.
Ayah putri itu menolak karena jika ia menikahkan putrinya dengan Diponegoro hanya akan membawa putri kepada nasib buruk.
Kemudian ada fakta yang jarang diketahui orang yaitu selama Perang Jawa, Pangeran Diponegoro menganggap Gawok, luar Surakarta, 15 Oktober 1826, menjadi lokasi kekalahannya yang terbesar.
Ternyata di Gawok sebelum pertempuran berlangsung, ia tidur dengan seorang perempuan muda China yang bukan istri resminya bukan pula selirnya.
Perempuan itu adalah tawanan perang di Kedaren dan Diponegoro mempekerjakannya sebagai tukang pijatnya.
Skandal itu disesali Diponegoro dan ia anggap alasan kekalahan sekaligus penyebab ia terluka di bagian dada dan tangan, dan ia menganggap kesenangan seksualnya telah menetralkan kekebalannya.
(*)