Laporan Wartawan Gridhot.ID - Akhsan Erido Elezhar
Gridhot.ID - Sebagai sutradara, Hanung Bramantyo selama ini kerap menggarap film biopik dari para tokoh terkenal Indonesia.
Kali ini Hanung Bramantyo menceritakan momen ketika ia mendapat tawaran untuk memfilmkan kasus pembunuhan aktivis Munir.
Dilansir Gridhot.ID dari artikel terbitan Tribunnewsmaker, 9 September 2022, sayang, keinginan tersebut justru gagal setelah Hanung Bramantyo tahu siapa sosok yang memintanya untuk memfilmkan.
Suami Zaskia Adya Mecca ini juga menyinggung kasus pembunuhan Brigadir J yang didalangi Ferdy Sambo.
Hal tersebut diutarakan Hanung dalam unggahan di Instagram pribadi miliknya.
Unggahan tersebut bertepatan dengan momen hari terbunuhnya Munir pada 7 September 2004.
"Tanggal 7 September 2004, lelaki pejuang HAM ini dibunuh. Sampai hari ini dalangnya tidak tertangkap.
Pernah suatu hari saya diminta membuat filmnya. Tanpa ragu saya menyatakan bersedia," ucap Hanung Bramantyo dikutip dalam laman Instagram pribadi miliknya, Jumat (9/9/2022).
Namun niat tersebut nyatanya diurungkan oleh suami Zaskia Adya Mecca itu setelah mengetahui sosok di balik yang menghubunginya untuk meminta difilmkan.
"Katanya ngefans sama saya dan pengin kenalan. Setelah saya selidiki ternyata si penelepon seorang pensiunan tentara.
Hati saya langsung mak jleb. Perasaan saya enggak enak," tutur Hanung Bramantyo.
Ia pun akhirnya mempertimbangkan hal tersebut. Sebab Hanung Bramantyo tidak mau mengalami hal buruk terjadi dikemudian hari usai ia menggarap film Munir.
Hanung pun menyebut ia tak ingin nasibnya seperti Brigadir.
"Daripada nasib saya seperti sang Brigadir," tulis Hanung Bramantyo.
Sutradara Ayat-Ayat Cinta itu pun mengatakan bahwa kasus pembunuhan Munir masih misterius.
Ia pun menyinggung kasus yang tengah hangat saat ini yakni kematian Brigadir J.
"Pelakunya sudah tertangkap, tapi dalangnya masih bebas. Siapa dia? Yang jelas orang kuat. Mungkin Aswatama," tulis Hanung Bramantyo.
Hanung juga menyinggung kasus kematian Brigadir J yang disebutnya ragedi Duren Tiga, dimana Ferdy Sambo menembak anak buahnya Brigadir J.
"Melihat tragedi Duren Tiga, saya jadi paham kalau keadilan sulit ditegakkan jika menyentuh aparat," lanjutnya.
"Buat cak Munir, saya titipkan doa. Semoga keadilan segera tiba buat sampean. Agar keluarga yang ditinggalkan tenang. Alfatehah …," pungkasnya.
Dikutip Gridhot.ID dari artikel terbitan Tribunnews, 7 september 2022, diberitakan sebelumnyaPada 7 September 2004, Munir Said Thalib dibunuh dengan menggunakan racun arsenic secara terencana.
Pengadilan telah memutus dua orang aktor lapangan dan membebaskan Muchdi Purwoprandjono, yang saat itu menjabat salah satu Deputi Badan Intelijen Negara (BIN).
Pada 7 September 2022, kasus Munir akan memasuki kadaluarsa karena akan melampaui 18 tahun sejak peristiwa terjadi karena konstruksi yang dibangun dalam penyelesaian kasus Munir adalah pembunuhan biasa.
Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan jika merujuk pada dokumen Tim Pencari Fakta Munir (TPF) yang banyak beredar, kasus Munir bukanlah pembunuhan biasa tetapi pembunuhan yang diduga dilakukan oleh aktor negara dan merupakan kejahatan kemanusiaan karena Munir di bunuh di luar atau tanpa proses peradilan (extra judicial killing).
Namun, Komnas HAM lebih memilih jalur aman dengan tidak menangani kasus Munir sebagai salah satu peristiwa yang merupakan pelanggaran HAM.
Bahkan Komnas HAM baru membentuk Tim Ad Hoc untuk penyelidikan kasus ini justru menjelang tibanya masa kadaluarsa.
“Komnas HAM jelas pilih jalur aman dan berlindung di ujung masa kadaluarsa dan di ujung masa jabatan Komnas HAM periode 2017-2022 yang akan berakhir Desember," ujar Hendardi dalam keterangan persnya, Rabu (7/9/2022).
"Alih-alih menjadi instrumen percepatan penanganan kejahatan HAM, Komnas HAM periode ini justru menebalkan impunitas sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir. Padahal, sejak Tim Pencari Fakta Munir (TPF) menyelesaikan tugasnya di 2005, Komnas HAM semestinya sudah bisa melakukan kerja penyelidikan sehingga kasus ini terus bisa ditindaklanjuti dengan menggunakan kerangka UU 39/1999 dan UU 26/2000, " lanjut Hendardi.
Sementara, Jokowi sejak 2014 terpilih menjadi Presiden RI, tidak pernah tuntas memahami duduk perkara kasus Munir.
Ketika didesak menindaklanjuti rekomendasi TPF Munir, Jokowi melalui Menteri Sekretaris Negara mengatakan tidak mengetahui laporan tersebut.
Sebagai seorang presiden, semestinya Jokowi memahami bahwa tugas penuntasan pelanggaran HAM itu melekat pada dirinya, sekalipun peristiwa itu terjadi di masa sebelumnya.
TPF telah menyerahkan laporan tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kapasitasnya sebagai Presiden, yang artinya tugas lanjutan melekat pada presiden berikutnya.
Bahkan karena Jokowi terus mengelak, SBY pun berinisiatif mengirimkan copy laporan tersebut pada 26/10/2016 kepada Jokowi.
Tetapi nyatanya, hingga periode kedua Jokowi tersisa 2 tahun lagi, Jokowi tetap tidak tuntas memahami kewajibannya sebagai Presiden sebagai duty barrier atau pemangku kewajiban dalam hukum hak asasi manusia.
Selain kasus Munir, Jokowi pula yang menyusun kreasi absurd penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan non yudisial, yang sudah dipastikan tidak akan mampu mengungkap kebenaran dan keadilan.
Keppres yang diklaim ditandatangani saat 17 Agustus 2022 dan hingga kini tidak bisa diakses publik, adalah cara pragmatis memberikan pemulihan karitatif bagi korban pelanggaran HAM masa lalu.
"Keengganan Jokowi dalam menuntaskan kasus Munir dan pilihan Jokowi menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu melalui jalur non-yudisial adalah gambaran terang benderang tentang arah politik penegakan HAM di Indonesia yang semakin suram menuju pelembagaan impunitas secara permanen dan tidak berpihak pada kebenaran dan keadilan, " tutur Hendardi.
(*)