Dengan sindrom ini, sandera atau korban pelecehan mungkin bersimpati dengan penculiknya.
Ini adalah kebalikan dari ketakutan, teror, dan penghinaan yang mungkin diharapkan dari para korban dalam situasi ini.
Seiring berjalannya waktu, beberapa korban memang mengembangkan perasaan positif terhadap penculiknya.
Mereka bahkan mungkin mulai merasa seolah-olah mereka memiliki tujuan dan tujuan yang sama. Korban mungkin mulai mengembangkan perasaan negatif terhadap polisi atau pihak berwenang.
Mereka mungkin membenci siapa pun yang mungkin mencoba membantu mereka melarikan diri dari situasi berbahaya yang mereka hadapi.
Paradoks ini tidak terjadi pada setiap sandera atau korban, dan tidak jelas mengapa hal itu terjadi.
Banyak psikolog dan profesional medis menganggap sindrom Stockholm sebagai mekanisme koping, atau cara untuk membantu korban menangani trauma dari situasi yang menakutkan.
Gejala sindrom Stockholm
Muncuk perasaan positif terhadap orang yang menahan mereka atau menyiksa mereka.
Muncul perasaan negatif terhadap polisi, figur otoritas, atau siapa pun yang mungkin mencoba membantu mereka melarikan diri dari penculiknya.
Mereka bahkan mungkin menolak untuk bekerja sama melawan penculiknya.
Source | : | Kompas.com,Bangkapos.com |
Penulis | : | Desy Kurniasari |
Editor | : | Desy Kurniasari |
Komentar