"Di mana, pada fase akut atau fase segera kemungkinannya adalah tiga," ujar Reni.
Kemungkinan pertama, kata Reni, korban akan mengenspresikan kemarahannya atas apa yang terjadi pada dirinya yang telah dilecehkan.
"Yang kedua itu kontrol, dikontrol ini satu penekanan dan ini memang berelasi dengan ciri-ciri kepribadian tertentu yang internalizing tadi, jadi menekan rasa marahnya menekan rasa takutnya menekan rasa marahnya meskipun itu muncul, itu ada itu dikontrol," kata Reni.
Kemudian, kemungkinan ketiga itu shock disbelief, yakni korban akan sulit berkonsentrasi dan sulit mengambil keputusan.
Reni mengatakan, yang terjadi pada Putri Candrawathi berdasarkan teori tersebut lebih sesuai dengan kemungkinan kontrol.
Putri dinilai bisa menekan emosi dan menjadikan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Reni menjelaskan, respons tersebut merupakan satu bentuk mekanisme pertahanan jiwa untuk bisa tetap tegar.
Pengacara kemudian kembali bertanya, dari korban kekerasan seksual yang diketahui Reni, berapa persen yang melakukan mekanisme pertahanan seperti Putri Candrawathi.
"Dari korban yang anda temui, berapa persen yang melakukan defense seperti ini (PC), dibandingkan yang langsung melapor ke kepolisian, ke dokter dengan melakukan visum?" tanya Sarmauli.
Reni menjabarkan data dari Indonesia Judicial Research Society di tahun 2021 yang menunjukan kebanyakan korban kekerasan seksual akan menarik diri, takut, malu dan merasa bersalah jika melapor.
Itulah sebabnya mayoritas korban kekerasan seksual merasa harus menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapi. "Sedikit sekali yang kemudian respons yang betul-betul mengekspresikan (melaporkan) kalau dari riset yang ada," kata Reni.
Dalam kasus ini, Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Richard Eliezer, Ricky Rizal dan Kuat Ma'ruf didakwa secara bersama-sama telah melakukan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.